2/23/2015

Pandangan Pertama

Lelah, tak sempat ku ceritakan ini pada siapapun. Rasanya hati cukup bergetar membaca seuntai kata yang meliuk seperti kisah pengalaman pada buku yang baru saja ku beli. Ingin rasanya meluapkan ini, tapi pada siapa? Pertanyaan yang sebaiknya tak memiliki jawaban.
Rindu, tapi tak mengerti bagaimana menyatakannya. Bagaimana mengungkapkannya jadi suatu sikap yang tidak salah tingkah. Bukan tidak berani namun lebih berhati hati dalam menyikapi hati. Meski tak sampai, aku berharap dia merasakan tak perlu balasan. Hanya butuh peresapan yang sampai mengubah rasa jadi perasaan.
Rasa, tak ada salahnya aku menerka, membaca bahkan mengerti tentang sikapmu yang baru ku kenal itu. Aku tak ingin kita hanya menjadi sepi yang tak berarti dalam obrolan panjang waktu itu. Aku pun tak ingin kita menjadi ramai yang berati dalam pertemuan singkat itu. Namun aku hanya ingin kita bisa menjadi kita yang seutuhnya, yang tidak menggerutu ketika harus bercerita kepada siapa, ketika harus bagaimana dengan jawaban yang akan didapatkan oleh opini yang belum pernah terdengar lewat hati.
Indah, kenapa begitu saja seperti sedia kalanya. Mungkin kemarin hanya kebetulan, sampai lupa akan perasaan yang belum sempat dinyatakan. Mungkin kemarin hanya khilaf, sampai tiada henti memikirkan respon baik buruknya orang orang yang melihat pertemuan kita. Mungkin kemarin hanya semata, tak pernah sejalan hingga kita sulit dipertemukan lagi dengan sehati.
Sulit, seperti kebanyakan orang lain yang terlalu mengagumimu, bahkan menginginkanmu. Mungkin ini, ini yang terbaik. Akankah pandangan ini hanya jadi yang pertama tidak berakhir. Akankan pandangan ini tidak memiliki akhiran yang baik atau sekedar menjelaskan bahwa ada rasa yang mungkin dimiliki diantara kita namun perlu kerendahan hati untuk menyatakannya. Akankah pandangan ini tetap akan menjadi satu satunya yang pertama tanpa kita harus mengulang dan mengakhirinya.

Sayang, saya menamakan ini semua atas nama yang tidak ada perbedaan apapun dalam soal rasa. Saya menamakan ini semua atas nama trauma yang selalu saya jadikan alasan bagaimana saya harus berhenti dan mengakhiri pandangan pertama ini. Dan saya mengatasnamakan hati yang sudah terlalu lama terluka dan sulit untuk mengerti ini apakah kebetulan atau benar pandangan pertama yang akan berubah jadi perasaan yang sejati.

No comments:

Post a Comment