8/19/2015

Pertanyaan~

Akan ada ketika waktu memberikan jawaban atas pertanyaan yang selalu diri keluhkan, bahkan ketika waktu membalikkan pertanyaan atas balasan yang selalu diri abaikan. Sampai dimana diri mengerti bagaimana cara menikmati sesungguhnya, bagaimana cara mensyukuri sepenuhnya atas yang terjadi saat ini bahkan nanti.
Akankah diri ini selalu mempertanyakan tanpa memberi jawaban atas kelakuan masa sekarang. Seakan hidup hanya milik keadaan tanpa proses para objeknya. Seakan hidup hanya milik orang lain sebanyak penilaian yang diberikan pada diri. Seakan hidup hanya milik waktu yang digunakan hanya untuk menunggu.
Pada awalnya, diri hanya ingin menggunakan tanpa kesiasian tapi tidak membuka seluasnya pikiran tentang sikap saat ini. Hanya bebas tapi terbatas, hanya merdeka tapi terluka. Lalu, sekian banyak kesempatan mengiyakan itu bagaikan angin yang menghembus saja, tetap diri bukan bagian penentuan takdir yang diberikan. Sehingga sebesar apapun menguatkan ketika diri tidak dimampukan, apalah arti kebesaran diri.
Inilah waktu yang tepat, memberikan peluang berlaku kebaikan lebih baik dari pada kesempatan berlaku memperbaiki. Karena ketepatan waktu hanya pada saatnya ini, bukan untuk diabaikan namun dinikmati.
Diri menasehati bukan karena merasa benar, menikmati bukan karena merasa salah. Hanya saja, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan. Ketika nikmat itu benar terasa sesungguhnya dalam kesiapan diri merasakannya. Ketika hikmah itu benar terjadi sepenuhnya dalam kesiapan diri atas kejadiannya.
Mampukah pengembalian pertanyaan itu merubah sebanyak keluhan yang merusak banyak harapan. Sehingga sebesar apapun diri ini berharap hanya akan hilang dijawab waktu. Segankah waktu diburu untuk menerima banyaknya pertanyaan yang belum sempurna dikehendakinya.
Sampai saat ini, dalam pengabaian waktu tentang terasingnya diri membuat semakin nyata. Ada kenikmatan dalam kesendirian, dalam kekosongan, dalam kerinduan karena ketika tidak lagi merasakannya diri malah mempertanyakannya kembali.
Berhentilah mempertanyakan ketika kesiapan pembalasan jawaban tidak pernah terlintas dalam fikiran, karena hanya menikmati cara menanggapi sesungguhnya keluhan itu.



8/18/2015

Saya merasakan

Ini jawaban bagi yang pernah bertanya tentang alasan yang sebenarnya mereka ketahui. Namun malah membalikan diri seakan dingin selalu menyelimuti hati yang sebenarnya dalam kehangatan, seakan batu selalu mengeraskan hati yang sebenarnya dalam kelembutan, seakan acuh selalu memaksa hati yang sebenarnya dalam kepedulian.
Diri merasa seakan merasakan lebih dalam tentang arti bagaimana orang lain mengartikan dalam kebaikan yang sebenarnya salah diartikan. Diri merasa seperti menjalani lebih dulu tentang makna bagaimana orang lain mengubah kebaikan yang sebenarnyasudah berubah.
Bukan ini maksutnya, bukan seperti ini pula maknanya. Hanya saja diri itu tertutup pada besarnya rasa karma yang harus diterima. Mengertilah akan ada yang tersakiti jika hati itu berhati hati, menjadikan sejati menjadi bukti yang tidak lagi berarti. Akan ada yang terkhianati jika perasaan itu berubah seperti berjalannya waktu dalam komunikasi yang menentu. Akan ada yang terbunuh seperti diri itu terbawa luluh yang tidak memiliki tujuan seperti diri itu menjanjikan penuh.
Biarkan sendiri itu membantu diri ini merasakan bagaimananya indahnya berdua, memberikan hikmah yang dapat mengubah rumah sebagai satu satunya tempat kembali. Biarkan diri selalu dalam kata sendiri yang tidak dalam keperluan apapun diri itu bersimpati dalam arti yang berbeda walaupun dalam perasaan yang berbeda dan penilaiannya pun berbeda. Karena hati yang sepenuhnya mengerti justru berusaha melebarkan sayapnya untuk lebih mengeratkan kesetiannya yang perlu ditunjukan.
Tidak perlu iba dalam keadaan yang telah ada sebelum atau sesudahnya kisah. Rencana Tuhan tak sepantasnya dikeluhkan pada objek yang hanya menilai subjektif kisah itu. Tidak perlu menayakan diri ini baik dalam keadaan yang telah ada sebelum atau sesudahnya kamu. Kesempatan Tuhan tak selayaknya dipertanyakan pada diri yang sejatinya sudah melewati dalam lindungan Tuhan.
Percayalah, tidak ada yang mau diperlakukan tidak baik walaupun dirinya belum tentu baik. Karenanya bersikaplah seperti apa kamu ingin diperlakukan. Karena diri hanya biasa dalam kebiasaan. Karena bagi orang tidak ada yang mau susah padahal diri yang sebenarnya menyusahkan.

Percayalah, diri hanya ingin dihargai tanpa sebagai apapun selain manusia yang mengerti bagaimana ia akan diperlakukan orang lain. Dan apapun penilaiannya tetap Tuhan  yang lebih Kuasa menentukan jalan hidup yang mampu diberikan makhlukNya.

Hakikat Diri

Apa hakikat diri? Akan kah diri bagian dari sendiri. Ketika dibiarkan semakin mengusik membisikan hati ada raga yang setengah pergi. Ketika dirasakan semakin mengecewakan hati ada jiwa yang setengah sempurna. Ketika diikuti semakin menusuk hati ada rasa yang setengah berlalu.
Kenapa bergantung pada mereka semakin mempermainkan emosi yang tak mungkin lagi tertahan. Kenapa bergantung padaNya justru perlu melekat ketika dekat. Bagaimana ketika jauh, akankah mereka yang berusaha mengerti hanya sekadar ingin mengikuti tanpa hati. Akan kah Dia memerlukan perlekatan juga ketika jauh walau menyapanya pun ragu dalam setiap kewajiban.
Dari dulu, kesadaran mungkin baru mengerti seakan tak ada dulu ketika sekarang. Menikmati sekarang tanpa merencanakan perubahan pada hari berikutnya adalah omong kosong belaka. Menikmati bukan tidak boleh, karena yang berlarut itu tidak baik.
Ketika dibawah rasanya melihat keatas merasa diri selalu kurang dalam kesombongan, hanya membawa diri dalam keadaan yang selalu disendirikan. Ketika diatas melihat kebawahpun tak mampu hanya sekedar menoleh pun tidak, hanya berakhir pada pengabaian yang diiringi benci seakan pernah melewati.
Bagaimana cara melawan keadaan yang tak seperti selayaknya sehingga penerimaan itu jatuh pada keikhlasan hati. Bagaimana cara menghargai keberadaan diri yang belum sempat dihargai dalam kesempatan yang lain. Inilah hidup, dan hidup inilah yang tidak pernah terfikir dalam rencananya manusia namun terpikir dalam RencanaNya yang Maha Kuasa.

8/17/2015

Serba Salah

Sejatinya kebenaran hanya milikNya, Sejatinya kesempurnaan hanya milikNya. Sekalipun usaha mengiringi setiap proses yang tidak mudah, sekalinya tak ada kehendak maka tak sampailah pada kebaikan yang diinginkan melainkan kebaikan yang dibutuhkan.
Apakah dengan berbagi menjadian hati menjadi dengki? Bukankah berbagi adalah hal menyenangkan bagi yang merasakan. Bukannkah dengan berbagi menjadi diri merasa bersyukur atas kelimpahan. Tapi, kenapa dalam kesempatan ini berbagi menjadikan diri semakin bersalah. Kenapa berbagi semakin menusuk lebih dalam tentang arti diri.
Perasaan tidak pernah membohongi diri yang lemah menyadari keadaan. Mungkin serba salah hanya dalam pengambilan kesimpulannya saja. Ketika resiko terburuk diambil dalam masalah yang berbeda. Meski setiap apapun memiliki kebaikan walau setitik.
Hanya diri ini saja yang merasa, semakin melebarkan pelukan justru mengurangi keeratan sebelumnya, karena meyakini ketidakmungkinan diri tidak membutuhkan orang lain. Tersadar ketika mereka menanyakan seakan kebaikan yang dilewati dengan pelukan yang erat mulai merenggang dengan adanya tambahan kuantitas didalam pelukan itu. Kenapa harus bertanya? Seakan setiap hal perlu dipublikasikan disetiap momennya persahabatan. Seakan apapun itu dinamakan persahabatan yang baik jika pengetahuannya lebih detail dipahami.
Apakah berbuat baik pada siapapun itu perlu pamrih yang selalu ditagih. Walaupun penyindiran itu samar terdengar, namun menyadarkan.  Apakah berbuat baik pada apapun itu perlu bayaran dalam penawaran. Walaupun ungkapan itu mulai ada namun tak berada.
Bukankah persahabatan selalu menghargai pertemanan, dengan apapun dan siapapun nanti, biar waktu yang menyeleksi. Pemantasan itu hanya pada diri selayaknya menjadi yang terbaik dalam ceritanya kita bukan aku atau kamu. Kita memang buruk mengenal sebatas kisah yang kita alami terasa sama seakan solusi terbaik pada pengalaman terbaik, namun melupakan hal yang sebenarnya malah membalikan sikap yang seharusnya dijauhi.
Kita ini apa? Sejak kapan keformalan teman atau sahabat itu ada? Sejak kamu mengatakan hal yang begitu menggucang perasaan. Seakan aku berfikir dua kali untuk penganggapan. Kamu itu bukan hanya kamu, kamu berarti majemuk, berarti luas.
Tidak ada yang salah dalam kesempatan ini. Bukankah resiko terbesarnya hanya kita yang mengambilnya dengan bagian terburuknya. Saya yang tidak merasa pantas dijadikan yang terbaik sebagai teman apalagi sahabat. Namun kalian sendiri yang membuka diri bahwa bukan untuk saat ini kita merasa dalam keeratan yang sesungguhnya, mungkin lain kesempatan.
Diri berharap seakan masih diberi kesempatan untuk lebih mengenal arti bagian resiko terburuk itu sehingga waktu mampu mengubah keadaan mempercayakan kamu untuk lebih dalam memasuki hidup dalam kebersamaan walau tak harus bersama. Terima kasih atas penganggapan yang tak pernah terduga sebelumnya, namun pemantasan itu tak baik atas pembalasan yang diberikan pada diri.
Wallohualam bissoaf, ada bukan berarti berada. Kebersamaan bukan berarti bersama. Keistimewaan bukan berarti istimewa. Dan kesempurnaan bukan berarti sempurna. Bagaimana kita memandang dan bagaimana pemantulan pemandangan itu menampilkannya. Berfikirlah dalam perbedaan, seakan kita menjadi mereka begitupun sebaliknya. Namun kesalahan bukan bagian terbesar saat ini. Hanya kesempatan yang tak baik bukan berarti buruk. Dan yang merasa hanya diri bahwa serba salah hanya pada penyalahan diri yang sejatinya selalu berkesempatan berbuat kesalahan.



7/17/2015

Menahan

Lama rasanya gundah tak pernah tersampai pada kesempatan yang tepat. Meski ingin, namun memulai sangat lebih sulit dari sebelumnya. Mungkin diri ingin tak menetap namun menyegerakan hal yang tak perlu diingat. Tapi, apalah arti menahan dalam kesakitan yang dalam jika yang dirindukan pun tidak berani merindukan perasaannya. Walau hanya sekedar perasaannya saja, sehingga apapun itu menjadi pilihan kita sendiri sebagaimana luka yang akan sembuh dengan sendirinya.
Hanya karena keresahan sebelumnya meliputi segala ketakutan saat ini. Terasa sangat mengundang sejuta perasaan yang sulit tergambarkan. Terasa sangat menyentuh diri yang mendiami perasaanya sendiri. Terasa sangat mengagetkan hati yang tak lagi ada perasaan lain yang menghampiri. Akankah ada hanya dibalik semua perubahan yang merasuk dalam kosong yang sudah lama merasa sepi. Mungkinkah ada jika dibalik segala keluhan yang belum pernah dirasakan oleh hati yang merasa kuat. Adilkah gelisah ini tersampai pada gelisah yang berbeda kesempatannya.
Terbayang seakan pernah menjalani segala yang akan terjadi, seakan penat selalu hadir dalam setiap harapan yang mungkin menjadi hal yang baru. Saya, tidak mengerti dengan apa yang akan terjadi namun selalu menerka hal yang belum terjadi sampai akhir pada kejatuhan yang tersungkur. Merasa diri lemah dan tak pantas untuk mendapatkan hal yang baru bahkan menghapus segala gelisah selama ini. Merasa diri ini kuat hanya dengan kisah ini saja tanpa variasi yang membuat warna dalam kehidupan.
Untuk setiap malam yang sulit terpejam dalam lelahnya menahan sepi. Bersaksi lah akan ada manfaat yang dapat mengubah perasaan tentang dia menjadi kamu. Atau tentang kamu menjadi dia. Sehingga akan ada selalu kebaruan yang memberi tanda bahwa perasaan tidak mati, namun sedikit tak mengenakan untuk segera dipulihkan.

Menahan itu mampu memberi kebahagian selayaknya Tuhan yang melemahkan ketika sebenarnya diri ini lemah. Dan menguatkan ketika sebenarnya diri ini kuat. 

4/25/2015

DATANG LAGI?

Kenapa datang lagi? Ketika semuanya belum sempurna untuk dihancurkan. Meski terasa sebenarnya telah dibiarkan oleh keadaan yang selalu kalah dengan perasaaan. Seakan lupa kejadian yang membuat kita semakin hilang menelan segala harap yang tak sampai. Jika mimpi hanya sekedar rumpi yang tak akan ada habisnya. Rupanya kita selalu merasa dipertemukan untuk menyampaikan perasaaan yang tak sampai.
Kenapa pergi lagi? Ketika semuanya belum sampai pada akhirnya untuk permulaan yang tak juga dimulai. Meski terasa sebenarnya telah ada perasaan yang tak seharusnya. seakan lupa bahwa kamu akan pergi tanpa alasan yang berarti lagi. Jika harap tak sampai pada sikap yang tak terjadi pada diri. Rupanya kita selalu merasa menjadi diri walau pun bukan pada keadaan sendiri.
Ketika datang, aku tidak pernah mengingat kamu hilang. Bahkan ketika hilang, aku tidak pernah lupa kamu akan datang. Karenanya kita merasa pasti walau tanpa bukti. Mereka tidak salah, begitupun kamu. Kenapa harus membohongi jika ada yang menghalangi diri ini untuk ikhlas. Ikhlas menerimamu datang kembali.
Kenapa pergi kalau akhirnya akan datang, kenapa menjauh kalau akhirnya didiekatkan. Ini bukan tentang siapa? Tapi tentang bagaimana. Sampai diri ini lupa dengan sendiri.
Tak mudah untuk percaya lagi denganmu, tak sulit untuk menerima mu lagi. Karenanya rasa hanya soal waktu, mungkin hanya menunggu kesempatan yang tak lama lagi datang.
Pertanyaan tentang perasaan memang tak sempat dibalas dengan perasaan. Semakin terlihat sakit ketika terdengar luka yang tak mampu terobati. Semakin terdengar perih ketika tak mencapai pada puncaknya. Tak seharusnya merasa itu terasa, selayaknya sakit ini tak sebaiknya disakiti. Karena biarkan ini berjalan untuk kesekian kalinya. Tak seharusnya merasa itu terasa, selayaknya kecewa ini tak sebaiknya dikecewakan karena dengan ini kita tidak akan pernah menyesal.
Ada yang lain dari ini? Atau hanya diri ini saja. Merasa satu namun disatukan. Merasa hanya aku namun dipercumakan. Atau aku yang salah menafsirkan, banyak bisikan yang menyata begitu saja. Hati nurani atau hanya sebatas godaan. Banyak terlintas tapi tak menyangkut dalam. Aku hanya ingin berdiri merasa mampu dengan hati yang menentu. Walau bertanya sendiri dengan lugu, akankah aku hanya satu namun diam seperti batu.


Kalian~

Ini untuk kalian yang merasa sedih ketika mendengar asa pada diri ini tertinggal pada kisah yang terus berlalu. Yang merasa senang ketika melihat senyuman kecil yang membuat berbeda suasana ruangan dalam cerita. Yang merasa cemburu ketika ada orang lain lebih dulu membaca gerak yang berubah sejak sebelumnya. Yang merasa tak dianggap ketika diri ini merasa sendiri dalam kesepian yang panjang.
Hanya diri ini, yang terlalu rendah menyampaikan asa yang selalu tumbuh dan kadang layu untuk sekadar ada dalam obrolan yang semulanya damai begitu saja. Yang terlalu tinggi menginginkan keadaan dalam bersama ketika sendiri mulai menyelimuti perasaan yang tak mungkin tersampaikan. Yang terlalu mengukur haruskah kalian mendengar hal yang sama dalam cerita yang beda namun terulang. Menyanggupinya pun rasanya tak mampu, apalagi harus berusaha dengan damai terlihat sanggup menanggapi cerita ini.
Kalian begitu hebat menyegerakan rasa ini berlalu untuk yang kesekian kalinya. Kalian begitu mahir dalam mengatakan dengan usaha diri sendiri yang membuat tak sendiri. Kalian begitu kuat menjelaskan bahwa nyaman tidak tentu aman. Kalian begitu sempurna untuk mengingatkan diri ini pada kesalahan yang mungkin sama namun dalam cerita yang berbeda.
Untuk saat ini, waktu dapat berlalu begitupun senang dan kesedihan. Oleh karenanya, tak perlulah kalian mengerti dengan apa senang dan sedih itu ada dalam cerita. Biarkan diri ini mengerti karena kalian begitu berarti.
Kadang yang berat itu justru meringankan, merasa seakan kuat namun tak seutuhnya berjuang. Hanya imajinasi yang tergambar, ketika tak ada lagi realita yang dapat dibuktikan. Lantas, selama ini hanya angan saja yang terbang bersama angin. Entah selama ini hanya diri ini saja yang menerbangkan harapan itu sendiri tanpa siapapun.  Selama ini? Selama itu pula pengenalan hanya sebatas diri tanpa ada kita didalamnya, karena sejatinya kita tidak pernah menginginkan untuk menyatu apalagi berdua.
Trak! Jika memang ingin serius jangan hanya mencari yang ingin saja namun tak ada keseriusan dalam berusaha. Selama apapun kata itu tak akan pernah mengalahkan saat ini keadaan yang merubah keadaan. Menentukan adalah sulit, namun menentukan pilihan lebih rumit. Karena tak ada pilihan lain yang layak untuk dipilih.
Salah, karena terlalu yakin pada pilihan yang tak pernah yakin pada dirinya sendiri. Terasa berjalan sendiri walau berjuang untuk berdua. Diri seakan berpikir sebaiknya dijauhi dari pada menjauh, dengan apapun itu caranya. Berhentilah pada fokus yang tak berharap diprioritaskan. Jangan hanya terbawa dengan takut yang selama ini mengganggu diri, padahal diri ini saja tanpa kita didalamnya.
Cukup rasanya ketulusan itu sampai, meski tak tersampaikan. Karena akhir kita yang memiliki dan direncanakan oleh Tuhan. Tapi apakah sakitnya sampai saat ini dan selama ini. Sebaiknya ada fokus yang perlu diprioritaskan selain kamu dan kita tak akan pernah memprioritaskan kefokusan itu.
Proses itu hanya milik diri yang mau berusaha, bukan menikmati apa yang ada. Mendaki itu lebih baik dari pada hanya melayang. Sampai dimana hati akan menikmati yang berhati akan berhati hati meski tak berarti.
Ini yang terakhir, entah walau sampai kapan menganggap ini yang terakhir tapi malah yang terakhir itu berakhir kembali ke awal~

3/14/2015

Ingin lepas!!!

Ingin rasanya kumelepas dengan ikhlas, karena sudah saatnya tak ada harapan yang tak jelas. Karena memang tak merasa pantas untuk menjadi yang teratas. Akan bisa karena memang sudah biasa walau tak ingin untuk merasa ada harapan yang mulai dingin. Sekiranya hidup ini bukan tentang berharap tapi bagaimana bersikap, tak harus tegap namun tak juga gagap. Biar pengap, sudah selayaknya diri ini mengungkap, banyak asa yang tak biasa hingga berujung binasa. Sejatinya diri ini ini hanya tak kuat melawan penat yang tak terlihat dalam langkah yang bersemangat. Kadang tak rela, namun hati terus membela ada keras dalam kepala yang membuat diri seperti sedia kala.
Yakinkan diri sendiri, bahwa ini milikku sendiri. Tak ada yang lain karena sudah tak mengerti bagaimana mengartikan harapan. Menumpuk dalam setumpuk kegelisahan yang hanya membuat suntuk walau tak ngantuk. Raga ini tak hanya hancur, tapi lebih dari melebur. Banyak mengubur harap yang seharusnya jadi nyata yang akhirnya diri ini hanya buta. Saat terkubur kamu mengaburkan segalanya yang didalamnya ada aku bersama.
Ini bukan aku, bukan kamu, dan bukan kalian. Bagaimana ini ternilai tak berharga hanya lalai yang tak berguna. Salahnya, karena diri terlalu lemah untuk ingin selalu kembali kedalam rumah walau salah.  Bukan waktunya menumpuk harap karena ini bukan tentang kita. Sebaiknya diri ini saja yang memberi untuk sekedar pada harapan masa depan karena didepan sudah jelas telihat ada keistimewaan jika diterapkan.
Serahkan, tak berarti juga pasrahkan. Karena diri hanya sanggup menunduk jika gugup itu datang. Diri ini saja biarkan lepas seiring nafas menyampaikan dengan tegas. Biarkan bebas merasa terhempas seperti kertas yang tak selalu putih namun bersih.
Diri ini bebas tak ada satupun yang dapat menjamin. Biarkan melepas harap yang dapat menjadi doa dalam amin, karena rasanya sebaiknya sekadarnya walau tak semestinya tapi harap yang ingin mengucap ada doa yang tertancap dalam lidah yang sulit mengecap.
Diri ini menyesal hingga kesal. Sampai tak sesuai dengan harap yang penuh sesal. Dalam hati memenuhi namun belum terpenuhi. Karena hilang selalu datang, karena yang datang akan selalu menghilang. Diri ini terlalu takut bahkan hampir pengecut, hingga nanti sampai berhenti pada penghantaran dalam hati.

3/13/2015

Apalagi?

Sakit, memang begitu saja terjadi seakan tak pernah peduli. Dengan apa akan dijelaskan lagi, bila saja tak sampai untuk mengungkapkan. Memang seperti ini, tak merasa berarti karena selalu mengikuti kata hati yang katanya belum mati. Seakan lebih sulit untuk mengatakan, ada rasa yang tak perlu terasa olehmu. Bukan cukup hanya aku, tapi karena kita tak baik dirasa bersama. Tak merasa cukup jika memang aku sendiri, merasakan seperti sakit itu menemani dalam ruang yang tak pernah berisi. Apabila hanya sekedar menangisi aku sampai, namun aku tak sanggup untuk merasakan lebih dalam. Tak begitu adanya, karena jika terlalu banyak bertanya ada rasa yang belum habis didalamnya.
Karena yang ketika itu terjadi, bahagiamu tak akan pernah sanggup menjatuhkan ku apalagi membuat aku sakit. Perasaan ini sendiri yang berakibat semakin dekat dengan sakit yang melekat. Mereka jauh mengeluh merasakan ada perlukaan yang tak ada habisnya jika harus dengamu. Bukannya aku tak membiarkan terus terlukis jika sebenarnya ini tanpamu. Karena dengan ini, kita bertemu bukan untuk mengucap hilang dalam penyesalan perkenalan namun terucap arti jika lebih berarti untuk tak menjalani hari ini atau nanti.
Aku pikir ada saatnya, jika memilih bertahan pada hal yang hanya jadi bahan cerita yang fatal. Akan ada kebosanan yang datang berkenaan dengan sikapmu yang sekarang. Sampai kapan aku dapat menjelaskan dengan  lapang, ada hati yang sedang tak merasa sakit namun jelas dirasa oleh kebanyakan cerita dari opininya hati.
Akan dibiarkan pada pilihan, yang tak terdapat diri didalamnya karena keberhakan memilih sebanding dengan keberhakan untuk pulih. Banyak yang bilang, memilih adalah keistemewaannya. Tanpa sadar tak ada pilihan adalah satu jalan yang hanya ingin dimiliki.
Soal rasa tak kuasa, dihadapkan pada seluruh angan yang tak menjamin kenyataan. Tentang hidup yang tidak jauh dengan harapan. Sult seakan tak berdaya, merasa sakit tapi tak begitu terasa. Mungkin akan segera tinggal, pada hati yang sebentar lagi terpenggal, oleh mu. Denganmu, rasa ini tak ingin mati bersamanya, karenanya akan terbiarkan mencari arti pada orang yang akan lebih berarti.

Apalagi? Soal rasa yang tersisa, akan ku biarkan pergi bersama diri yang tak ingin lagi. Karena sudah menyisakan banyak luka hingga tak pantas menolehkan muka, masa lalu hanya akan berlalu. Karena teryakini dalam diri ada mampu yang terbantu dengan waktu~

3/12/2015

Tentang Diri

Bagaimana mengetahui ada jiwa yang menyendiri padahal tidak sendiri. Peduli pada sekitar tapi pada diri sangat sukar. Mengapa harus tertukar dengan hal yang wajar? Akankah dirinya merasa pintar dalam mengatasi kehidupan. Ketika jauh kenapa diri ingin selalu dekat, tapi ketika dekat rasanya ingin jauh. Bukannya keinginan lebih terasa saat tak ada dan kebutuhan lebih mengerti saat dimiliki. Tentang kehidupan, bukan hanya perkataan namun penerapan. Begitu banyak derita yang hanya jadi cerita karena diri tak hanya mampu namun pantas. Begitu banyak tangisan yang hanya jadi lukisan karena diri tak menentu namun sesuai. Begitu banyak sedih tak begitu pedih karena diri selalu melupakan dengan mengalihkan.
Siapa yang lebih dewasa dalam hal kebijaksanaan jika selalu ditemukan faktor usia tak menjamin pelaksanaan. Mengapa menanyakan hal yang tak perlu dipertanyakan, jika sebatas opini hanya terlewatkan. Bukan tentang mereka, namun tentang diri melihat apa yang sedang terjadi sehingga hati nurani yang mampu mengatasi.
Mengapa mencari ketika diri sebenarnya sudah ditemukan. Mengapa pergi ketika diri sebenarnya menetap lagi. Mengapa berdiri ketika diri sebenarnya tak kuasa. Mengapa bertahan ketika diri sebenarnya sanggup melangkah perlahan.
Diri, tak selalu menyendiri ketika sendiri. Tak selalu menyamakan ketika bersama. Biarkan menyatu pada hal yang menentu, sebagaimana waktu yang membantu. Walau rasanya tak mampu, walau rasanya tak sanggup. Itu hanya soal perasaan, memilihlah dalam hal penerapan. Karena dengan diri kita menjadi diri sendiri, untuk siapa hal itu dibatasi dan bagaimana cara mengatasi.
Kadang, tak perlu tau untuk mempelajari namun perlu belajar untuk mengetahui. Jika semakin membatin, mengapa harus diikutin. Sekarang, menemukan memang tak sesulit kehilangan. Sebenarnya dicari, tapi untuk nanti. Apa yang dilakukan? Merasa hampa sampai ingin berhenti. Merasa tak berguna lagi untuk saat ini. Lagi, soal rasa hanya membuat putus asa. Merasa namun tak dirasa, karena diri tak kuasa.

Diri, tak harus berdiri untuk terlihat. Tak harus menyendiri untuk mendapat. Ternyata, bermanfaat mendatangkan syafaat. Tak perlu bersyarat untuk berguna karena memang sudah seharusnya. Meski diri semakin yakin pada hal yang tak mungkin, karena yang ditanam akan paham. Biarkan ini berjalan sesuai dengan yang menuai.  

3/08/2015

Cerita Tentang Mereka

Apakah dengan berterus terang ada yang kita rasakan akan otomatis orang lain rasakan? Ataukah dengan berdiam diri memendam apa yang kita ingin katakan  secara pasti orang lain tidak mengetahui. Ada bahasa yang tidak dapat dipraktekan namun dapat ditunjukkan. Ada gerak yang bisa terbaca dengan hati yang sudah berpengalaman. Tidak perlu khawatir karena dengan keadaan apapun hati tidak dapat dipermainkan.
Setelah itu, dengan apa kita harus berbicara untuk sekedar mengatakan tak selayaknya diri ini mendengar apa yang diluar pikiran. Karena merasa ada yang belum memiliki solusi yang damai. Tapi apakah kata orang lain? Jangankan peduli, untuk sekedar mengetahui pun diri ini merasa tercaci bagai orang yang tak pernah sadar dengan keadaannya. Tapi apa kata diri? Sedangkan hati ini lebih resah dari biasanya namun tak sampai untuk menyelesaikan. Bukan karena belum mau tapi belum mampu.
Jangan befikir dengan tidak mau mendengar diri ini samar, tapi lewat sikap tak mau mengajak orang lain untuk bijak dalam keadaan diri yang sulit ditebak. Hanya diri sendiri yang mengerti bukan saatnya memberi arti pada setiap kasus yang terjadi. Karena terlalu percaya akan kemampuan yang diberikan tak melebihi masalah yang diajukan.
Mengerti lebih memahami tentang bagaimana indahnya menjalani dengan teryakini. Karena setiap manusia memiliki masalah dan penyelesainnya begitupun dengan yang terjadi. Walau setiap sikap akan bertatap adakah kemampuan yang diberikan jika kasus itu bukan terjadi pada orang seharusnya. Yakinkah, dengan masalahmu itu kamu akan menjadi kamu yang sebenarnya bukan yang apa adanya. Karena dengan menerima akan membiarkan diri ini belajar dengan wajar untuk sadar bersama.
Cerita tentang mereka semakin menggenang bagaikan hati hanya teringat pada kenangan. Tidakkah diri ini berusaha mengatakan tak sebesar hal yang indah dengan benar. Itu hanya masa lalu akan menjadi berlalu, maka jangan hanya jadi benalu, cukup diri yang malu dan orang lain tak perlu. Bukanya tidak terharu, karena kesyukuran selalu berseru, ada masa yang berada disaat ini bahwa diri ini layak berada disini.

Mengikhlaskan adalah rasa kelas tinggi yang tidak ada tandingannya lagi. Karenanya seakan diri tidak menangis, tidak berduka walau luka sedang terbuka. Bukan hanya tragis namun celaka. Buatlah seindah indahnya pribadi, seperti diri sudah menjadi, entah apapun itu kejadiannya. Ada hebat jika terlibat. Karena yang berbicara tidak akan pernah merasakan sampai akhir nanti dan hanya kata yang dapat dilantunkan karena tak sempat sehebat orang yang melakukan. Karena yang perlu diketahui, diri ini tidak dapat berbuat banyak jika tidak layak.

Tidak Mudah Susah

Tidak mudah namun tidak juga susah. Ingin berjalan tanpa halangan yang membuat terus bertahan. Harusnya tak usah terusik perlahan. Ingin pasrah, karena semakin parah. Alasan apapun bisa membuat kita semakin dekat, namun luka ini begitu pekat dan memang kata belum sepakat.
Untuk saat ini, bukan karena apapun tanpa mengurangi kepentingan posisi. Ada hal yang belum basi ketika itu diceritakan esok hari. Ada hal yang belum sempurna untuk diceritakan saat ini juga. Ada yang belum tepat untuk diceritakan dengan cepat pula. Karena perlu waktu untuk berjalan perlahan, melangkah pun rasanya rumit bagaimana harus terpaksa berlari.
Sebenarnya terharu meski lebih pada keadaan ini terlihat baru. Begitu peduli untuk sekedar menuntun dengan tali. Begitu teliti untuk sekedar menyuruh berhenti. Begitu memaksa untuk sekedar melepas asa.
Untuk saat ini, kadang manusia hanya menuntut dirinya dimanusiawikan tanpa mengetahui dia berhadapan dengan manusia pula. Kadang ada waktu yang terbuang sia-sia tanpa melihat sebenarnya dengan mengulang mengingat sia-sia pula. Masa lalu hanya akan berlalu dan saat ini yang paling penting untuk menghadap yang akan berlalu. Tapi diri, rasanya menyesal adalah pilihan satu satunya keadaan. Walau maksud hanya ingin mengadu pada diri, ada yang salah saat ini.
Meski berlatih untuk membiasakan itu semakin tertatih. Hanya dengan bertemu dengan siapapun rasanya mengubah rasa yang ada dalam hati dan akan begitu selanjutnya. Semakin mengikuti hati nurani semakin rasanya ingin lari pada diri. Semakin mengikuti opini semakin tak berani untuk berlari dari diri. Diri yang tak sebagaimana terlihat lengah, namun lelah yang bukan karena keadaan, lebih dari pada opini itu sendiri.
Katanya ada selesai setelah dimulai, kenapa proses begitu lupa dengan waktu. Ada yang harus selesai karena memang sudah usai. Kenapa waktu yang selalu disalahkan yang sebenarnya hanya menunggu perintah dari yang terlibat. Apa ada akibat? Sebab sudah merasa terjerembab sembab. Karena merasa ini belum selesai, bagaimana mau memulai.
Dan itulah mulianya kalian, terlalu mempesona untuk melihat diri ini terluka. Terlalu mengagumi untuk mendengar keluh yang sudah terbuka. Terlalu menjaga untuk sekedar tau ada yang baru.
Ada yang tidak mudah untuk mengatakan diri ini sudah melupakan. Ada yang tidak mudah untuk sekedar bilang ada rasa yang sudah pudar. Ada yang tidak mudah untuk berbicara sudah terabaikan dengan banyak cara.  Ada yang tidak mudah untuk menceritakan kisah yang belum jelas diberitakan. Namun tidak begitu susah untuk memulai diri mengalihkan pada yang penting dipulihkan. Tidak begitu susah untuk melangkah walau dengan hati yang salah. Tidak begitu susah untuk terbiasa tak membicarakan asa.
Inilah diri, hanya ada mulai, proses, dan selesai. Walau kadang memilih bertahan itu memang godaan. Walau kadang memilih berhenti itu memang untuk menepi.

Menulis

Menulis sebenarnya adalah memaksa mengingat, sehingga diri terpaksa teringat. Kemana ketenangan? Malah terlena dalam kenangan. Semakin hari semakin menyadari ada tulisan yang menari disepanjang hari. Semakin jauh semakin mengeluh ada tulisan yang membuat luluh untuk terus berharap penuh. Lagi lagi tentang harap, karena berbuat baik tak juga menghasilkan yang terbaik dan berbuat buruk sudah pasti menghasilkan yang terburuk. Menulisku seperti terpaku, menancap dan sulit dilepas. Bagai kata yang tak pernah diucap namun harap tak pernah terhempas. Rasanya ingin berhenti, malah semakin jadi mencari arti sejak tadi. Inginku pergi bahkan tak segan untuk mengakhiri, karena alasan meyendiri bukan ingin lari.
Bangun, malah tertegun ada alasan yang membuat melamun. Sedih memang, pedih memang. Ada harap yang melayang, ada sikap yang ingin berjuang. Biar, pikiran ini mencari yang benar. Walau tanpa sadar telah merindukan orang yang tak benar. Meski rindu itu akan pergi atau malah datang lagi. Sempat heran, kenapa kuat bertahan pada kerinduan atau memang tak ada sedikitpun perasaan. Menolak, ada rindu yang begitu menggebu, bersorak sendu seperti babu. Seakan tak guna menulis dengan pena, karena hatimu tak juga kena.
Diluar hujan tapi tak deras, biarkan. Apa ini balasan dari keadaan yang tak perlu diumpamakan. Semakin tidak dinyatakan semakin tidak terlupakan bahwa ada perasaan yang belum tersamakan. Tinggal memilih, meneduh untuk menunggu reda atau berlanjut melawan deras. Tapi hati tetap hati dan akan berhati hati. Bukan untuk menuduh tapi jelas ada batas. Ada yang tak pantas ditunggu dan tidak ada yang jelas untuk alasan dibuat menunggu.

Secara langsung menghadirkan diri dengan bingung, tapi suara itu hanya terasa mendengung. Tidak pasti hanya membuat aku mengerti, ada yang selesai ketika terus memulai. Ada yang menyerah ketika pasrah. Lalu untuk apa menulis? Jika hati tetap saja menangis, jika diri tetap saja teriris, jika logika tetap saja terkikis. Tapi dengan menulis, ada resah yang tercurah mungkin sampai nanti sampai rasa ini benar benar mati.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   

3/01/2015

Petunjuk Jalan

Selamat pagi untuk yang sendiri, selamat malam untuk yang telah menghabiskan malam. Seharusnya berbagi adalah saat yang membuat iri, namun yang dibagi hanya kalimat kelam yang mengungkap jati diri. Tapi dengan ini mereka hanya menerka saling membuka lebih terang tentang terluka. Ini hari minggu yang ditunggu namun selalu menganggu. Tetap terlewat dengan cepat yang membuat terus mengingat. Pikirnya menunggu itu asyik, malah mengusik. Ada yang perlu dijelaskan walau tak perlu diselaraskan.
Sudahhkah berjalan? Bahkan saya sudah berlari dengan bertahan. Yang saya tau ketika itu, saya kehilangan petunjuk jalan setelah menemukan. Karena ada, tapi tak senada. Karena dekat, tapi tak terlihat. Karena butuh tapi tak menyentuh. Ini tentang tempat yang katanya untuk, oleh dan harus bersama. Walaupun tak sempat dan tak ada yang ingin lama. Ternyata penawaran yang tak sesuai sebelumnya, tidak tepat sasaran pada harinya. Mau menyalahkan apa? Bahkan lupa mengapa untuk diingat walau banyak yang memiliki firasat.
Sudah siang, masih saja meriang. Apa? Merindukan kasih yang penyayang? Tak mengapa jika pelukan masih membawa kamu pulang pada diri yang belum tentu memiliki peluang. Masih saja berkutik pada petunjuk jalan yang selalu ditemukan ketika jauh, sama seperti mereka tetap saja berkritik tanpa saran bahwa perlu pelukan ketika butuh.
Mulai sore, tetap saja hambar. Katanya petunjuk jalan itu benar, sampai saat ini belum juga kasih itu terdengar. Hanya bertanya waktu yang saya punya, tapi jawaban pasti pakai katanya. Tidak ada yang pasti tapi perlu diteliti. Banyak yang saya ingin lihat ketika saling menemukan, atau malah saling teringat dengan kesibukan.
Sebenarnya kita ini apa? Petunjuk tak selalu benar. Ada opini yang selalu harus kita yakini, dan ada omongan yang tak perlu kita jadikan wejangan. Kamu dan saya belum tentu dipertemukan untuk saling menemukan. Tapi hanya ingin menguji kebenaran, untuk sekedar memuji yang membuat kasmaran. Meski tak pernah lebih, tapi saya ingin memilih. Ada perasaan yang terpilih, sampai gundah ini pulih.

Mungkin rasa hanya sanggup merasa, bukan tidak mau mengikuti kata hati. Namun sudah berasa ada bukti yang menjadi harga mati. Kamu tak berhak dinanti tapi hanya layak diganti. Dengan apa? Dengan sikap yang mantap, bahwa dengan berharap diri ini rusak. Dan tak ada pertanyaan lagi setelah kita menujuk kebenaran jalan, karena disitu kita tak saling menemukan.

2/27/2015

Ada Apa~

Aku hanya ingin bercerita dan itu lebih dari cukup, bukan ingin bercinta yang terasa begitu gugup. Hanya sekedar berkata bahwa diri ini mulai tertata bukan lagi diri yang buta. Tak ada yang dipinta selain serta dalam cerita. Menimpa diri yang hampa dan terlupa bahwa ada apa.
Kenapa begitu nyaman, mengatakan diri ini aman bersama. Bagaimana taman tak menghiraukan bunga dengan keindahan yang melengkapi walau tak lama. Walau hanya sekedar teman, tapi sekadar saja ijinkan mengatakan ada keadaan yang pudar setelah dengan mu. Kenapa begitu nyaman, mengetuk iman ini tersadar. Bagaimana hujan mengalahkan reda dengan terus meramaikan walau tak berhenti. Walau hanya ada kata menyesakkan dada menghapus luka yang tak bertepi.
Lalu seperti apa aku harus bersikap? Lurus seakan tak ada terus dibalik kita. Belok seakan tak ada besok dibalik kita. Rupanya, aku yang menemukanmu kemarin dalam gundah namun indah yang terjadi. Kamu yang menemukanku hati ini dalam keadaan yang tak pernah aku mengerti. Apa ada hati? Atau malah mati? Itu terserah yang membuat diri ini pasrah menyatakan menyerah walau sebelum terpanah.
Dalam diri bertanya? Apakah akan terus sendiri tanpanya? Berdiri sampai lari dengan harap dicari. Langkah yang bertingkah merasa mengolah mengatakan tak usah memikirkan resah yang membuat gundah. Kapan kau akan terlupakan? Jika diri ini menetapkan ada hati yang sengaja berharap saja. Dimana diri ini tertinggal? Jika diri ini terpenggal ada rasa yang memaksa tanggal kuasa. Siapa yang teringat? Jika diri ini berkeringat mengejar hari ada iri yang belajar kuat.
Aku hanya ingin bercerita bukan bercinta, atas pelukan yang dari derita. Menjerit ingin menyampaikan hanya denganmu aku merasakan. Jangan berikan aku jarak atas obrolan yang membuat aku serak. Mereka pun bersorak seakan kita ada apanya. Padahal apa? Kita hanya diam, menepi memperbaiki diri. Hanya bergumam dalam hati walau sendiri. Apakah pantas? Menata lagi bekas yang tak berkelas. Apakah wajar? Mengeja lagi belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang hilang.

Ada apa? Sampai saat ini aku mengatakan pada diri ku sendiri. Mungkin denganmu pun kembali bertanya. Apa ada?

Jenuh

Jenuh terasa penuh yang akhirnya mengeluh. Tak kehabisan akal untuk mengatakan ada asa yang tertinggal meski bekal belum cukup. Tak kehabisan pikiran untuk meneliti ada mimpi yang belum wujud. Tak kehabisan batin untuk meresap ada sikap yang belum tertutup. Jenuh dengan aktivitas yang hanya kandas ditelan waktu. Walau tersimpan berjuta keinginan yang melintas tanpa berfikir ada cerita dibalik itu.
Kita hanya diwajibkan mengerti dengan mempelajari, entah dengan cara apa dan ritual apa mesti tersusun rapi dalam hati. Kita hanya berhak memihak segala hal yang perlu kita turuti, entah dengan keadaan seperti apa dan fisik apa mesti terus mengusik dalam diri. Kita hanya mengangguk mengatakan dengan sanggup, entah apa yang disanggupi mesti raga mulai gugup untuk menjalani.
Tak ada memang penyesalan yang berujung sialan. Hanya ini yang dapat dilakukan. Kita pun selalu pergi tak berarti meski hanya melewati. Dimana ada banyak cinta yang selalu tumbuh menghinggapi tanpa harus dihadapi. Sebenarnya, ini selalu mengusik ketika buruk selalu menggoda kebenaran. Mengatakan lelah berjuang walau diri belum pernah riang. Mengatakan perih merasakan walau diri belum pernah lirih mengutarakan. Tak sangka ini hanya prasangka yang belum tentu menjadikan buruk. Tak sangka hingga kuasa diri ini terasa puasa yang belum tentu menjadikan terpuruk.
Sedikit itu sepertinya sulit dan hal rumit. Sampai ada angkat yang perlu ditangani dari perasaan yang hanya terjadi saat ini. Sampai ada turun yang perlu dilangkahi dari perkataan yang tak mungkin terjadi lagi. Sedikit memang tak sesuai dengan katanya. Tapi itu hanya sekelumit kenyataannya. Biarlah sedikit ini menyemangati diri tiada henti bahwa mati itu pasti dan berhenti itu tidak menandakan kita lebih berarti.
Katakan pada diri sendiri, bukakan mata hati diri sendiri. Akan ada yang tertawa jika kita terbawa. Akan ada yang tersenyum jika kita belum. Akan ada yang melirik jika kita tertarik. Percayalah itu tak akan menjadikan kita apa? Tapi mengapa kita seperti demikian. Bukannya itu hanya membuat kita sekian.
Namun yang pasti, ada yang menangis bahagia ketika kita selalu merilis demi melawan penuh yang jenuh itu. Semangatlah dengan menyemangati, rindulah pada kebenaran sejati, ada luka hati yang mulai ditutupi bahwa ini mesti diobati. Bersigap untuk mulus sampai hinggap teruntuk lulus.

Waktu itu ~

Payah diri ini karena terlalu lelah sampai sudah waktunya menyerah. Ingin rasanya hati ini pecah untuk sekedar memilah menemukan diri yang hatinya juga terbelah. Hanya diri ini saja, hanya insan seperti aku saja. Terlihat bersahaja walau hati mulai tertutup senja. Senja yang katanya sementara namun ternyata sulit tiada tara. Memulai meski belum ada yang memulai, mengakhiri meski sudah seharusnya berakhir.
Apakah kamu tidak pernah jatuh setelah patah? Tidak pernah cinta setelah terluka? Ini hanya untukmu, yang menoleh ketika bisikan aku menorehkan sedikit kisahmu saja. Lalu apa yang aku ingat? Penat, merintih merasa ini tak seharusnya dinanti. Soal gender yang membuat minder hanya membuat mereka ramai saat kita baru memulai. Apa yang dimulai? Karena kamu hanya terkulai merajut mengatakan ini tak perlu untuk berlanjut. Karena kamu tidak pernah memulai sebelumnya, dengan siapapun itu.
Apa yang membuatku saat ini gusar? Apa karena kamu tidak ingin patah setelah patah, atau aku yang tak menarik untuk sekedar dilirik? Sementara ini, aku jatuh masih tersayat oleh penatku sendiri. Tak semestinya ini berlanjut mengingat kabut yang waktu itu saja kita rasakan. Karena waktu itu mungkin hanya candaan yang hanya mengusik gundahan kecilmu. Karena kamu berfikir terlalu kikir untuk diukir dalam kisah yang akan berakhir.
Kita sama, tapi hanya mereka yang merasa. Aku? Melawan untuk segera menghadapkan diri pada kaca. Kamu? Tak mungkin selintas saja menuliskan aku dalam kertas penamu. Lantas mengapa aku merasa hati ini terkuras, seakan kaca itupun menghantam dengan keras membuat bekas waktu itu.
Jatuhku cinta tapi tak meminta, rinduku sendu tapi tak mengadu. Resahku basah tapi terpisah. Rasa ku asa tapi tak kau rasa. Sepi ku menepi tapi hanya mimpi. Bingungku linglung tapi terbendung. Kamu pun tau kita hanya bertemu satu waktu. Namun aku yang tak mampu untuk tau kamu hanya menyatu pada waktu itu.
Mengapa aku merasa lebih sendu setelah ini, perasaan yang tak menentu mulai menyatu yang bukan denganmu, tapi dengan indahnya waktu itu. Sampai kini aku hanya menjadi penghafal yang cepat namun tak melupakan dengan hebat. Karena waktu itu terlalu kuat untuk diingat.

Lewat menulis mataku teriris mengenang waktu itu ketika kita berbaris melihat ada penat yang tak perlu diingat. Meski mata ini terlalu dekat dengan belikat itu, tapi tersekat oleh hatimu. Lewat membaca diriku berkaca mengingat waktu itu ketika kita hanya sebatas cerita. Meski diri ini melebihi harapan yang sekedar waktu itu saja. Waktumu, waktu itu bukan untuk kita bertemu. Namun itu hanya candu yang perlu saya menyatu pada waktu itu.

2/26/2015

Jatuh (lagi)

Akan ku biarkan aku jatuh dengan utuh, sampai kamu akan merasa luluh. Dalam pandangan yang tak rela jika ditinggal pergi oleh kerasnya getaran yang tepat terasa menyamarkan luka yang masih berperan melawan kenangan yang lama seolah terobati pelan namun sampai menunggu berbulan bulan. Kelihatan dekat namun jauh, seolah melekat dengan erat namun sulit ditempuh.
Perlukah bukti yang kini menyakini hati ada jatuh dengan lagi mengiringi selangkah pada setiap tepi yang tegas memantul pada keangkuhan diri. Berhenti, menatapi pertemuan yang sudah berakhir namun sulit diakhiri. Seperti mengenal lebih sakti dari rasa ini, walau tak teryakini. Hanya ini, sampai disini masih suci tak ternodai.
Masih berharap, walau bukan pada harapan yang tak pernah terucap dari hati. Namun sikap, tanganmu mengusap luka yang bertahap mulai siap mengulang penuh harap yang lagi tak sama semoga dengan sebelumnya. Daya ini terlelap menjadi bunga yang berhenti mengucap resah. Karena ketika dengan mu, semua terasa penuh harap.
Jatuhku denganmu bagai waktu itu menutup rindu. Aku lagi jatuh namun menutupi, mulai meresapi tapi tetap saja berhenti untuk menanti.
Sambil berhenti, aku meratapi dengan dasar apa aku harus menanti. Sedang tidak ada sedikit langkah untukmu memulai menepuk diri ini. Sedang tidak ada mimpi yang kau simpan setelah sikap yang penuh harap. Sedang tidak ada sepertinya rasa yang terasa mengakhiri asa.

Dengarlah katamu sendiri karena hanya denganmu akan kuakhiri. Meski harus pergi atau tetap menanti. Jatuh ku tetap utuh karena butuh, semoga kamu tetap mengerti ada pintu yang terbuka dengan kunci yang menggantung sepi. Entah siapa yang akan mencoba menepi dibalik pintu itu atau bahkan hanya melangkah pergi karena telalu terbuka untuk pergi dan menepi.

2/25/2015

Haru Biru

Kisah pilu, kisah malu yang tak selalu, meski aku, kamu tak mau merasakan haru, walau mata mulai membiru, walau raga mulai kaku, walau hati mulai membeku. Kamu tetap bersikuku, menatapku ragu seakan rindu yang dulu tak ada lagi padamu.
Ah sudahlah, sudahkan keresahan yang bahkan semakin parah jika dipertahankan. Biarkan waktu yang berhak menyatakan akan kemana kita datang, akan kemana kita pergi untuk menahan arahan hidup yang masih menjelang
Bumi ini selalu berputar, bergetar semakin terasa. Sukar memang menghentikan yang sejatinya selalu benar. Sukar menentukan dimana cahaya lebih banyak berpijar.terkadang gentar, merasakan goncangan yang tidak banyak orang sadar merasakan.
Disini, kita habiskan waktu untuk membahas soal. Meski terkadang bahasan itu hanya soal waktu saja. Kita terlalu berburu menyimpan ruang yang sesak oleh perkataan, namun seperti kosong menghabiskan diri untuk keadaan yang semu.
Saya rindu, dan ini bukan hal baru, sampai lupa rasa bagaimana cemburu. Rindu ini seakan tak pernah mendengar kebenaran, tak pernah melihat kesemuan, tak pernah merasa kefanaan. Semoga saja ini terungkapa, bahwa rindu sedang terpeluk erat siapa yang akan menangkap walau sulit terucap.

MERAH

Merah, rasanya diri ini mendengar segala kebaikan yang belum sempat tersadari. Seakan merona mengudara tanpa mengenal arti dari warna diri ini. Sampai dada ini sesak tak berdaya, sampai hati ini lemah menatap sesuatu yang mulai diperbincangkan orang. Sampai raga ini tak kuat menopang harapan yang kesekian kalinya.
Ada apa ini? Kenapa seperti aku yang menginginkan diri ini tau bahwa ada sedikit asa yang mulai menumbuh? Mengukir diatas resah yang sulit aku tenangkan. Mengapa ini? Terjadi seakan begitu saja dengan segenggam ucapan manis yang menggoyahkan jiwa. Jiwa yang rapuh tak serapuh pembawaannya. Jiwa yang selalu terbang melayang indah dengan alunan motivasi orang lain.
Bukan sebuah permulaan, karena ini telah ku rasakan sejak dulu. Sejak sebelum aku menyukai ini lagi, sejak sebelum aku membenci kenangan ini lagi. Bukan sebuah akhiran, karena ini bisa saja aku teruskan tanpa henti. Mengikuti liku yang sudah ku jalani, yang mungkin tanpa kamu.
Ini membuat aku tenang, membuat aku semakin menjatuhkan hati pada pesan yang indah. Mengubah rindu menjadi sendu yang merdu. Mengubah rasa menjadi sangat terasa. Mengubah harapan menjadi penerapan yang memiliki masa depan. Tak kuasa untuk memeluk diri ini se erat eratnya sampai akan sadar diri ini pun akan hancur jika terlalu keraskan.
Akan kulihat jalan yang dulunya sepi hingga ramai, akan ku lihat bunyi yang dulunya sunyi akan terdengar. Akan kulihat riuknya angin yang pelan menjadi sangat kencang. Akan kulihat malam hingga pagi menjelang. Sampai akan kulihat diri ini terbakar membara, mulai mengikuti pesona merah yang tak akan padam.
Ini lah diriku, sendiri, sepi

Tak Senyaman Dulu~

Mungkin ketika nyaman adalah pilihan terakhir dari ini saya lega karena seharusnya itu selalu dirasakan tanpa melihat siapa dan kapan itu kamu. Ketika nyaman adalah pilihan yang sesungguhnya sehingga tak melulu mengantar pilu yang sampai saat ini masih terasa. Ketika nyaman adalah pilihan seutuhnya posisi yang akan membentuk keindahan yang semu jika dengan kamu.
Salah adalah ketika diri terlalu lemah untuk menerima harapan yang belum jelas artinya. Ketika diri menyatakan diri untuk selalu ingin menjadi satu-satunya.  Ketika diri rela menunggu tanpa mengerti lelahnya penantian itu. Dan ketika itu terhayut dalam ombak yang membawa hempasan membentur karam yang tajam, sampai perih.
Mungkin saya terlalu menginginkan kita bukan kamu. Tidak ada lagi hampa dalam diri. Tidak ada lagi resah dalam diri selain memikirkan kita. Tidak ada lagi rindu jika sampai aku dan kamu menjadi kita.  Tidak ada lagi bosan dengan perasaan yang masih tersamarkan.
Sadar adalah dimana diri ini mulai bangkit melawan sakit yang mulai menyelekit. Dimana diri ini membenci dengan pasti terhadap hati yang tak kunjung mengerti. Dimana diri ini terasa terluka menunggu peka yang hanya datang seketika. Dimana diri ini berakhir aku tanpa kamu sampai pikiran membeku.
Harusnya, tak senyaman dulu. Tak seindah dulu aku dengan mu yang tak akan menjadi kita. Karena hanya aku yang sangat berjuang, merasa diri sangat periang, walau banyak rintangan, berharap aku dan kamu terbentang nama menjadi kita. Tak separah dulu aku menerima semua keputusan atas nama kita walau itu adalah dirimu saja.

Aku pun mulai merasa, sudah saatnya aku menegaskan asa yang kau sengaja permainkan. Bukan untuk mengungkit keindahan dulu saat senyaman itu. Karena aku mulai bosan dengan guratan yang tertanam dalam kebingungan yang panjang. Dan itulah aku, kamu pun harus mengerti aku seperti halnya dulu aku mengerti alasan keputusanmu. Sudah saatnya kita tertinggal dengan alasan yang sudah pasti kamu tau jawabanya. Karena aku sudah lelah menunggu perasaan yang tersamarkan itu. Dan hati yang mulai melekat pada tak senyaman dulu~

Harus cerita ke siapa?

Harus? Mungkin sudah semestinya itu dilakukan, begitu pun dengan rasa yang banyak tertanam dalam hati akibat guncangan diri yang entah kapan berhentinya. Meski diam adalah cara terbaik menghadapi masalah ini namun tidak memiliki solusi yang pasti dalam fakta dikehidupan ini.
Ini bukan tentang aku, tapi tentang mereka yang selalu menemani proses ini. Ada apa dengan mereka? Akankah kelelahan itu tidak hanya dibibir saja tapi implementasinya berdiskusi dengan ragu dengan hati ini. Inikah keluhan terparah yang pernah dirasakan. Inikah rasanya sendiri dengan sejuta harapan yang belum sempat tersampaikan. Dan inikah kehidupan yang sebenarnya ketika tidak ada lagi dukungan selain diri ini sendiri.
Ketika pergi aku hanya berharap ia akan kembali dengan kekuatan yang lebih dari sebelumnya. Ketika diam aku hanya berharap celotehnya lagi untuk selalu menemani proses ini. Ketika lelah pun aku selalu berharap semangat itu menjadi melebihi semangat diri ini.
Tapi akankah harapan itu menguatkan aku pula dalam proses ini. Akankah hikmah menghampiri diri ini yang selalu menagihnya dalam setiap guncangan yang terjadi. Akankah mereka hadir kembali dalam respon positif yang terjadi atas diri ini.
Lalu harus kepada siapa aku bercerita? Mungkinkah aku lupa masih memiliki Tuhan yang maha segalanya dalam keadaan apapun. Dan demi nikmat yang selalu menemani kehidupan ini aku bersyukur tanpa rasa pamrih. 

Tidak Ada Pilihan Lain

Sore ini, aku mulai bosan dengan gurauan yang tak ada habisnya diperbincangkan lewat emosi yang tak akan pernah meluap sampai kita benar menyatakan diri ini salah. Karena semua hanya pantas dituruti atas dasar kewajiban yang belum semestinya. Karena apa yang telah direncanakan belum sampai pada tujuan sepenuhnya. Karena apa yang telah digariskan belum berbatas tegas dengan kenyataan yang sebenarnya. Dan karena mereka bukan tidak pernah merasakan namun sudah lebih kuat mengatasinya.
Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Tanpa ada perasaan benar atau salah yang mulai mengusik kebanyakan orang. Diri yang dapat memiliki dunia tanpa harus lupa menyapa bahwa kehidupan ini adalah tentang hari ini. Hari ini yang tak lepas dari goresan luka melukai banyak keresahan sebelumnya. Diri yang lemah jika harus dihadapkan dengan tidak adanya pilihan. Pilihan memiliki arti, sampai tak mengerti cara mengartikannya.
Tak ada salahnya kita mengikuti kerinduan yang selalu hadir menutupi keresahan yang pernah diberikan. Hingga siapa nanti yang akan menyatakan rindu itu lebih dalam dengan sikap yang seutuhnya benar ada. Tapi jika memang tak pantas menyampaikan, biarkan rindu itu yang membawa pulang rasa kembali kepada siapa yang berhak dirindukan.
Walau tidak ada pilihan lain untuk menyatakan, walau tidak ada kata lain selain yang saya rasakan, walau tidak ada kemungkinan akan berbalik darinya. Saya merasa ini adalah senja yang akan hilang dibawa malam yang panjang. Karenanya sementara adalah waktu yang dapat melayangkan harapan yang tak berujung. Dan hanya itu yang saya mengerti tentang hari ini, sementara.

Sekali lagi, tentang hari ini. Rasanya cukup banyak mendengar bahwa diri ini merasakan pilu atas kisah yang baru. Namun terdengar malu bahwa diri ini rindu atas kejadian itu. Sudahlah, ada yang perlu untuk diperlukan tercapai dalam waktu dekat ini. Walau waktu bergulir tiada henti menggusar hati hingga sepi karena tidak ada pilihan lain selain menepi.

2/23/2015

Pandangan Pertama

Lelah, tak sempat ku ceritakan ini pada siapapun. Rasanya hati cukup bergetar membaca seuntai kata yang meliuk seperti kisah pengalaman pada buku yang baru saja ku beli. Ingin rasanya meluapkan ini, tapi pada siapa? Pertanyaan yang sebaiknya tak memiliki jawaban.
Rindu, tapi tak mengerti bagaimana menyatakannya. Bagaimana mengungkapkannya jadi suatu sikap yang tidak salah tingkah. Bukan tidak berani namun lebih berhati hati dalam menyikapi hati. Meski tak sampai, aku berharap dia merasakan tak perlu balasan. Hanya butuh peresapan yang sampai mengubah rasa jadi perasaan.
Rasa, tak ada salahnya aku menerka, membaca bahkan mengerti tentang sikapmu yang baru ku kenal itu. Aku tak ingin kita hanya menjadi sepi yang tak berarti dalam obrolan panjang waktu itu. Aku pun tak ingin kita menjadi ramai yang berati dalam pertemuan singkat itu. Namun aku hanya ingin kita bisa menjadi kita yang seutuhnya, yang tidak menggerutu ketika harus bercerita kepada siapa, ketika harus bagaimana dengan jawaban yang akan didapatkan oleh opini yang belum pernah terdengar lewat hati.
Indah, kenapa begitu saja seperti sedia kalanya. Mungkin kemarin hanya kebetulan, sampai lupa akan perasaan yang belum sempat dinyatakan. Mungkin kemarin hanya khilaf, sampai tiada henti memikirkan respon baik buruknya orang orang yang melihat pertemuan kita. Mungkin kemarin hanya semata, tak pernah sejalan hingga kita sulit dipertemukan lagi dengan sehati.
Sulit, seperti kebanyakan orang lain yang terlalu mengagumimu, bahkan menginginkanmu. Mungkin ini, ini yang terbaik. Akankah pandangan ini hanya jadi yang pertama tidak berakhir. Akankan pandangan ini tidak memiliki akhiran yang baik atau sekedar menjelaskan bahwa ada rasa yang mungkin dimiliki diantara kita namun perlu kerendahan hati untuk menyatakannya. Akankah pandangan ini tetap akan menjadi satu satunya yang pertama tanpa kita harus mengulang dan mengakhirinya.

Sayang, saya menamakan ini semua atas nama yang tidak ada perbedaan apapun dalam soal rasa. Saya menamakan ini semua atas nama trauma yang selalu saya jadikan alasan bagaimana saya harus berhenti dan mengakhiri pandangan pertama ini. Dan saya mengatasnamakan hati yang sudah terlalu lama terluka dan sulit untuk mengerti ini apakah kebetulan atau benar pandangan pertama yang akan berubah jadi perasaan yang sejati.

2/12/2015

Saya Mengerti, Saya Yang Salah

Hidup yang katanya penuh liku-liku, sama aja sih kayak life is never flat. Sempet bingung cari siapa, dimana, kapan, bagaimana yaaa intinya 5W 1H, iya kaan? Pfft, kadang ngeluh itu gak sadar yaaa. Sampai bingung sama keluhan yang dikeluhin itu apa. Mungkin, kebanyakan nanya sama pasien tentang keluhan utama pertama datang kali yaa.
Mungkin, hidup ini memang penuh kemungkinan tapi lebih banyak juga kepastiannya. Yaaa itu urusannya langsung aja horizontal sama Alloh. Mengerti belum tentu memahami, belum tentu juga melakukan. Kan justru itu yang sulit, berat rasanya menyeimbangkan pikiran, hati, omongan dan tindakan. Yaaa itulah hidup.
Dari tadi, kayaknya hidup terus yang diperbincangkan. Padahal itu hanyalah kemungkinan. Implikasinya sama aja kayak nunggu. Nunggu kamu? Bukaaaaan, nunggu kematian? Loh ngapain ditunggu? Lebih tepatnya dipersiapkan, minimal bekal hidup untuk mati. Jadi kalo mati yang sudah pasti aja harus dipersiapkan, kenapa kalau kamu yang belum pasti mesti aku persiapkan dengan sabar. Yaaa kenapa yaaa?
Kadang sempit sih kalau mau bicarain jodoh, yang katanya ditangan Alloh dan diusahakan oleh manusianya. Katanya memang benar terkadang. Tapi usahanya ituloh yang agak sulit, sulit karena kamu gak usaha. Iyakan? Hmmm.
Nahh sepanjang ini bingung kan mau intinya apa? Iyaaa bingung karena sekuler terhadap perbandingan keadaan yang sesungguhnya memang pasti. Hidup atau mati itu pasti bahkan sudah ada ketetapannya. Lalu, apa yang jadi permasalahan? Tinggal hidup tidak jauh dari Alloh untuk mati. Karena itu yang pasti!
Ngapain sih harus ngeluh? Ada gunanya yaaaa? Bukannya sombong karena udah jarang ngeluh lagi, yaaa walaupun belum istiqomah sih jalanin semuanya. Tapi InsyaAlloh, La Tahzan Allohumma Ana.
Rasanya sayang banget kalau hidup Cuma cari yang gak pasti, bahkan nunggu yang gak pasti. Ternyata, hidup juga punya standar operasional prosedur yaaaa. Yaudah, buka lagi proker hidupnya, buka lagi Alqurannya baca maknanya, buka lagi Almatsuratnya ambil hikmahnya, denger lagi ayatnya sampai kamu menemui kepastian. Itu HIDUP! SEMANGAT ZAINAB!!!!!

Jadi ngerti kan siapa yang salah? Intinya introfeksi diri dan evaluasi diri lebih baik dari pada menyalahkan orang lain apalagi lingkungan yang gak pernah tau dan ngasih jawaban tentang kepastian hidup ini. Gitu!