3/14/2015

Ingin lepas!!!

Ingin rasanya kumelepas dengan ikhlas, karena sudah saatnya tak ada harapan yang tak jelas. Karena memang tak merasa pantas untuk menjadi yang teratas. Akan bisa karena memang sudah biasa walau tak ingin untuk merasa ada harapan yang mulai dingin. Sekiranya hidup ini bukan tentang berharap tapi bagaimana bersikap, tak harus tegap namun tak juga gagap. Biar pengap, sudah selayaknya diri ini mengungkap, banyak asa yang tak biasa hingga berujung binasa. Sejatinya diri ini ini hanya tak kuat melawan penat yang tak terlihat dalam langkah yang bersemangat. Kadang tak rela, namun hati terus membela ada keras dalam kepala yang membuat diri seperti sedia kala.
Yakinkan diri sendiri, bahwa ini milikku sendiri. Tak ada yang lain karena sudah tak mengerti bagaimana mengartikan harapan. Menumpuk dalam setumpuk kegelisahan yang hanya membuat suntuk walau tak ngantuk. Raga ini tak hanya hancur, tapi lebih dari melebur. Banyak mengubur harap yang seharusnya jadi nyata yang akhirnya diri ini hanya buta. Saat terkubur kamu mengaburkan segalanya yang didalamnya ada aku bersama.
Ini bukan aku, bukan kamu, dan bukan kalian. Bagaimana ini ternilai tak berharga hanya lalai yang tak berguna. Salahnya, karena diri terlalu lemah untuk ingin selalu kembali kedalam rumah walau salah.  Bukan waktunya menumpuk harap karena ini bukan tentang kita. Sebaiknya diri ini saja yang memberi untuk sekedar pada harapan masa depan karena didepan sudah jelas telihat ada keistimewaan jika diterapkan.
Serahkan, tak berarti juga pasrahkan. Karena diri hanya sanggup menunduk jika gugup itu datang. Diri ini saja biarkan lepas seiring nafas menyampaikan dengan tegas. Biarkan bebas merasa terhempas seperti kertas yang tak selalu putih namun bersih.
Diri ini bebas tak ada satupun yang dapat menjamin. Biarkan melepas harap yang dapat menjadi doa dalam amin, karena rasanya sebaiknya sekadarnya walau tak semestinya tapi harap yang ingin mengucap ada doa yang tertancap dalam lidah yang sulit mengecap.
Diri ini menyesal hingga kesal. Sampai tak sesuai dengan harap yang penuh sesal. Dalam hati memenuhi namun belum terpenuhi. Karena hilang selalu datang, karena yang datang akan selalu menghilang. Diri ini terlalu takut bahkan hampir pengecut, hingga nanti sampai berhenti pada penghantaran dalam hati.

3/13/2015

Apalagi?

Sakit, memang begitu saja terjadi seakan tak pernah peduli. Dengan apa akan dijelaskan lagi, bila saja tak sampai untuk mengungkapkan. Memang seperti ini, tak merasa berarti karena selalu mengikuti kata hati yang katanya belum mati. Seakan lebih sulit untuk mengatakan, ada rasa yang tak perlu terasa olehmu. Bukan cukup hanya aku, tapi karena kita tak baik dirasa bersama. Tak merasa cukup jika memang aku sendiri, merasakan seperti sakit itu menemani dalam ruang yang tak pernah berisi. Apabila hanya sekedar menangisi aku sampai, namun aku tak sanggup untuk merasakan lebih dalam. Tak begitu adanya, karena jika terlalu banyak bertanya ada rasa yang belum habis didalamnya.
Karena yang ketika itu terjadi, bahagiamu tak akan pernah sanggup menjatuhkan ku apalagi membuat aku sakit. Perasaan ini sendiri yang berakibat semakin dekat dengan sakit yang melekat. Mereka jauh mengeluh merasakan ada perlukaan yang tak ada habisnya jika harus dengamu. Bukannya aku tak membiarkan terus terlukis jika sebenarnya ini tanpamu. Karena dengan ini, kita bertemu bukan untuk mengucap hilang dalam penyesalan perkenalan namun terucap arti jika lebih berarti untuk tak menjalani hari ini atau nanti.
Aku pikir ada saatnya, jika memilih bertahan pada hal yang hanya jadi bahan cerita yang fatal. Akan ada kebosanan yang datang berkenaan dengan sikapmu yang sekarang. Sampai kapan aku dapat menjelaskan dengan  lapang, ada hati yang sedang tak merasa sakit namun jelas dirasa oleh kebanyakan cerita dari opininya hati.
Akan dibiarkan pada pilihan, yang tak terdapat diri didalamnya karena keberhakan memilih sebanding dengan keberhakan untuk pulih. Banyak yang bilang, memilih adalah keistemewaannya. Tanpa sadar tak ada pilihan adalah satu jalan yang hanya ingin dimiliki.
Soal rasa tak kuasa, dihadapkan pada seluruh angan yang tak menjamin kenyataan. Tentang hidup yang tidak jauh dengan harapan. Sult seakan tak berdaya, merasa sakit tapi tak begitu terasa. Mungkin akan segera tinggal, pada hati yang sebentar lagi terpenggal, oleh mu. Denganmu, rasa ini tak ingin mati bersamanya, karenanya akan terbiarkan mencari arti pada orang yang akan lebih berarti.

Apalagi? Soal rasa yang tersisa, akan ku biarkan pergi bersama diri yang tak ingin lagi. Karena sudah menyisakan banyak luka hingga tak pantas menolehkan muka, masa lalu hanya akan berlalu. Karena teryakini dalam diri ada mampu yang terbantu dengan waktu~

3/12/2015

Tentang Diri

Bagaimana mengetahui ada jiwa yang menyendiri padahal tidak sendiri. Peduli pada sekitar tapi pada diri sangat sukar. Mengapa harus tertukar dengan hal yang wajar? Akankah dirinya merasa pintar dalam mengatasi kehidupan. Ketika jauh kenapa diri ingin selalu dekat, tapi ketika dekat rasanya ingin jauh. Bukannya keinginan lebih terasa saat tak ada dan kebutuhan lebih mengerti saat dimiliki. Tentang kehidupan, bukan hanya perkataan namun penerapan. Begitu banyak derita yang hanya jadi cerita karena diri tak hanya mampu namun pantas. Begitu banyak tangisan yang hanya jadi lukisan karena diri tak menentu namun sesuai. Begitu banyak sedih tak begitu pedih karena diri selalu melupakan dengan mengalihkan.
Siapa yang lebih dewasa dalam hal kebijaksanaan jika selalu ditemukan faktor usia tak menjamin pelaksanaan. Mengapa menanyakan hal yang tak perlu dipertanyakan, jika sebatas opini hanya terlewatkan. Bukan tentang mereka, namun tentang diri melihat apa yang sedang terjadi sehingga hati nurani yang mampu mengatasi.
Mengapa mencari ketika diri sebenarnya sudah ditemukan. Mengapa pergi ketika diri sebenarnya menetap lagi. Mengapa berdiri ketika diri sebenarnya tak kuasa. Mengapa bertahan ketika diri sebenarnya sanggup melangkah perlahan.
Diri, tak selalu menyendiri ketika sendiri. Tak selalu menyamakan ketika bersama. Biarkan menyatu pada hal yang menentu, sebagaimana waktu yang membantu. Walau rasanya tak mampu, walau rasanya tak sanggup. Itu hanya soal perasaan, memilihlah dalam hal penerapan. Karena dengan diri kita menjadi diri sendiri, untuk siapa hal itu dibatasi dan bagaimana cara mengatasi.
Kadang, tak perlu tau untuk mempelajari namun perlu belajar untuk mengetahui. Jika semakin membatin, mengapa harus diikutin. Sekarang, menemukan memang tak sesulit kehilangan. Sebenarnya dicari, tapi untuk nanti. Apa yang dilakukan? Merasa hampa sampai ingin berhenti. Merasa tak berguna lagi untuk saat ini. Lagi, soal rasa hanya membuat putus asa. Merasa namun tak dirasa, karena diri tak kuasa.

Diri, tak harus berdiri untuk terlihat. Tak harus menyendiri untuk mendapat. Ternyata, bermanfaat mendatangkan syafaat. Tak perlu bersyarat untuk berguna karena memang sudah seharusnya. Meski diri semakin yakin pada hal yang tak mungkin, karena yang ditanam akan paham. Biarkan ini berjalan sesuai dengan yang menuai.  

3/08/2015

Cerita Tentang Mereka

Apakah dengan berterus terang ada yang kita rasakan akan otomatis orang lain rasakan? Ataukah dengan berdiam diri memendam apa yang kita ingin katakan  secara pasti orang lain tidak mengetahui. Ada bahasa yang tidak dapat dipraktekan namun dapat ditunjukkan. Ada gerak yang bisa terbaca dengan hati yang sudah berpengalaman. Tidak perlu khawatir karena dengan keadaan apapun hati tidak dapat dipermainkan.
Setelah itu, dengan apa kita harus berbicara untuk sekedar mengatakan tak selayaknya diri ini mendengar apa yang diluar pikiran. Karena merasa ada yang belum memiliki solusi yang damai. Tapi apakah kata orang lain? Jangankan peduli, untuk sekedar mengetahui pun diri ini merasa tercaci bagai orang yang tak pernah sadar dengan keadaannya. Tapi apa kata diri? Sedangkan hati ini lebih resah dari biasanya namun tak sampai untuk menyelesaikan. Bukan karena belum mau tapi belum mampu.
Jangan befikir dengan tidak mau mendengar diri ini samar, tapi lewat sikap tak mau mengajak orang lain untuk bijak dalam keadaan diri yang sulit ditebak. Hanya diri sendiri yang mengerti bukan saatnya memberi arti pada setiap kasus yang terjadi. Karena terlalu percaya akan kemampuan yang diberikan tak melebihi masalah yang diajukan.
Mengerti lebih memahami tentang bagaimana indahnya menjalani dengan teryakini. Karena setiap manusia memiliki masalah dan penyelesainnya begitupun dengan yang terjadi. Walau setiap sikap akan bertatap adakah kemampuan yang diberikan jika kasus itu bukan terjadi pada orang seharusnya. Yakinkah, dengan masalahmu itu kamu akan menjadi kamu yang sebenarnya bukan yang apa adanya. Karena dengan menerima akan membiarkan diri ini belajar dengan wajar untuk sadar bersama.
Cerita tentang mereka semakin menggenang bagaikan hati hanya teringat pada kenangan. Tidakkah diri ini berusaha mengatakan tak sebesar hal yang indah dengan benar. Itu hanya masa lalu akan menjadi berlalu, maka jangan hanya jadi benalu, cukup diri yang malu dan orang lain tak perlu. Bukanya tidak terharu, karena kesyukuran selalu berseru, ada masa yang berada disaat ini bahwa diri ini layak berada disini.

Mengikhlaskan adalah rasa kelas tinggi yang tidak ada tandingannya lagi. Karenanya seakan diri tidak menangis, tidak berduka walau luka sedang terbuka. Bukan hanya tragis namun celaka. Buatlah seindah indahnya pribadi, seperti diri sudah menjadi, entah apapun itu kejadiannya. Ada hebat jika terlibat. Karena yang berbicara tidak akan pernah merasakan sampai akhir nanti dan hanya kata yang dapat dilantunkan karena tak sempat sehebat orang yang melakukan. Karena yang perlu diketahui, diri ini tidak dapat berbuat banyak jika tidak layak.

Tidak Mudah Susah

Tidak mudah namun tidak juga susah. Ingin berjalan tanpa halangan yang membuat terus bertahan. Harusnya tak usah terusik perlahan. Ingin pasrah, karena semakin parah. Alasan apapun bisa membuat kita semakin dekat, namun luka ini begitu pekat dan memang kata belum sepakat.
Untuk saat ini, bukan karena apapun tanpa mengurangi kepentingan posisi. Ada hal yang belum basi ketika itu diceritakan esok hari. Ada hal yang belum sempurna untuk diceritakan saat ini juga. Ada yang belum tepat untuk diceritakan dengan cepat pula. Karena perlu waktu untuk berjalan perlahan, melangkah pun rasanya rumit bagaimana harus terpaksa berlari.
Sebenarnya terharu meski lebih pada keadaan ini terlihat baru. Begitu peduli untuk sekedar menuntun dengan tali. Begitu teliti untuk sekedar menyuruh berhenti. Begitu memaksa untuk sekedar melepas asa.
Untuk saat ini, kadang manusia hanya menuntut dirinya dimanusiawikan tanpa mengetahui dia berhadapan dengan manusia pula. Kadang ada waktu yang terbuang sia-sia tanpa melihat sebenarnya dengan mengulang mengingat sia-sia pula. Masa lalu hanya akan berlalu dan saat ini yang paling penting untuk menghadap yang akan berlalu. Tapi diri, rasanya menyesal adalah pilihan satu satunya keadaan. Walau maksud hanya ingin mengadu pada diri, ada yang salah saat ini.
Meski berlatih untuk membiasakan itu semakin tertatih. Hanya dengan bertemu dengan siapapun rasanya mengubah rasa yang ada dalam hati dan akan begitu selanjutnya. Semakin mengikuti hati nurani semakin rasanya ingin lari pada diri. Semakin mengikuti opini semakin tak berani untuk berlari dari diri. Diri yang tak sebagaimana terlihat lengah, namun lelah yang bukan karena keadaan, lebih dari pada opini itu sendiri.
Katanya ada selesai setelah dimulai, kenapa proses begitu lupa dengan waktu. Ada yang harus selesai karena memang sudah usai. Kenapa waktu yang selalu disalahkan yang sebenarnya hanya menunggu perintah dari yang terlibat. Apa ada akibat? Sebab sudah merasa terjerembab sembab. Karena merasa ini belum selesai, bagaimana mau memulai.
Dan itulah mulianya kalian, terlalu mempesona untuk melihat diri ini terluka. Terlalu mengagumi untuk mendengar keluh yang sudah terbuka. Terlalu menjaga untuk sekedar tau ada yang baru.
Ada yang tidak mudah untuk mengatakan diri ini sudah melupakan. Ada yang tidak mudah untuk sekedar bilang ada rasa yang sudah pudar. Ada yang tidak mudah untuk berbicara sudah terabaikan dengan banyak cara.  Ada yang tidak mudah untuk menceritakan kisah yang belum jelas diberitakan. Namun tidak begitu susah untuk memulai diri mengalihkan pada yang penting dipulihkan. Tidak begitu susah untuk melangkah walau dengan hati yang salah. Tidak begitu susah untuk terbiasa tak membicarakan asa.
Inilah diri, hanya ada mulai, proses, dan selesai. Walau kadang memilih bertahan itu memang godaan. Walau kadang memilih berhenti itu memang untuk menepi.

Menulis

Menulis sebenarnya adalah memaksa mengingat, sehingga diri terpaksa teringat. Kemana ketenangan? Malah terlena dalam kenangan. Semakin hari semakin menyadari ada tulisan yang menari disepanjang hari. Semakin jauh semakin mengeluh ada tulisan yang membuat luluh untuk terus berharap penuh. Lagi lagi tentang harap, karena berbuat baik tak juga menghasilkan yang terbaik dan berbuat buruk sudah pasti menghasilkan yang terburuk. Menulisku seperti terpaku, menancap dan sulit dilepas. Bagai kata yang tak pernah diucap namun harap tak pernah terhempas. Rasanya ingin berhenti, malah semakin jadi mencari arti sejak tadi. Inginku pergi bahkan tak segan untuk mengakhiri, karena alasan meyendiri bukan ingin lari.
Bangun, malah tertegun ada alasan yang membuat melamun. Sedih memang, pedih memang. Ada harap yang melayang, ada sikap yang ingin berjuang. Biar, pikiran ini mencari yang benar. Walau tanpa sadar telah merindukan orang yang tak benar. Meski rindu itu akan pergi atau malah datang lagi. Sempat heran, kenapa kuat bertahan pada kerinduan atau memang tak ada sedikitpun perasaan. Menolak, ada rindu yang begitu menggebu, bersorak sendu seperti babu. Seakan tak guna menulis dengan pena, karena hatimu tak juga kena.
Diluar hujan tapi tak deras, biarkan. Apa ini balasan dari keadaan yang tak perlu diumpamakan. Semakin tidak dinyatakan semakin tidak terlupakan bahwa ada perasaan yang belum tersamakan. Tinggal memilih, meneduh untuk menunggu reda atau berlanjut melawan deras. Tapi hati tetap hati dan akan berhati hati. Bukan untuk menuduh tapi jelas ada batas. Ada yang tak pantas ditunggu dan tidak ada yang jelas untuk alasan dibuat menunggu.

Secara langsung menghadirkan diri dengan bingung, tapi suara itu hanya terasa mendengung. Tidak pasti hanya membuat aku mengerti, ada yang selesai ketika terus memulai. Ada yang menyerah ketika pasrah. Lalu untuk apa menulis? Jika hati tetap saja menangis, jika diri tetap saja teriris, jika logika tetap saja terkikis. Tapi dengan menulis, ada resah yang tercurah mungkin sampai nanti sampai rasa ini benar benar mati.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   

3/01/2015

Petunjuk Jalan

Selamat pagi untuk yang sendiri, selamat malam untuk yang telah menghabiskan malam. Seharusnya berbagi adalah saat yang membuat iri, namun yang dibagi hanya kalimat kelam yang mengungkap jati diri. Tapi dengan ini mereka hanya menerka saling membuka lebih terang tentang terluka. Ini hari minggu yang ditunggu namun selalu menganggu. Tetap terlewat dengan cepat yang membuat terus mengingat. Pikirnya menunggu itu asyik, malah mengusik. Ada yang perlu dijelaskan walau tak perlu diselaraskan.
Sudahhkah berjalan? Bahkan saya sudah berlari dengan bertahan. Yang saya tau ketika itu, saya kehilangan petunjuk jalan setelah menemukan. Karena ada, tapi tak senada. Karena dekat, tapi tak terlihat. Karena butuh tapi tak menyentuh. Ini tentang tempat yang katanya untuk, oleh dan harus bersama. Walaupun tak sempat dan tak ada yang ingin lama. Ternyata penawaran yang tak sesuai sebelumnya, tidak tepat sasaran pada harinya. Mau menyalahkan apa? Bahkan lupa mengapa untuk diingat walau banyak yang memiliki firasat.
Sudah siang, masih saja meriang. Apa? Merindukan kasih yang penyayang? Tak mengapa jika pelukan masih membawa kamu pulang pada diri yang belum tentu memiliki peluang. Masih saja berkutik pada petunjuk jalan yang selalu ditemukan ketika jauh, sama seperti mereka tetap saja berkritik tanpa saran bahwa perlu pelukan ketika butuh.
Mulai sore, tetap saja hambar. Katanya petunjuk jalan itu benar, sampai saat ini belum juga kasih itu terdengar. Hanya bertanya waktu yang saya punya, tapi jawaban pasti pakai katanya. Tidak ada yang pasti tapi perlu diteliti. Banyak yang saya ingin lihat ketika saling menemukan, atau malah saling teringat dengan kesibukan.
Sebenarnya kita ini apa? Petunjuk tak selalu benar. Ada opini yang selalu harus kita yakini, dan ada omongan yang tak perlu kita jadikan wejangan. Kamu dan saya belum tentu dipertemukan untuk saling menemukan. Tapi hanya ingin menguji kebenaran, untuk sekedar memuji yang membuat kasmaran. Meski tak pernah lebih, tapi saya ingin memilih. Ada perasaan yang terpilih, sampai gundah ini pulih.

Mungkin rasa hanya sanggup merasa, bukan tidak mau mengikuti kata hati. Namun sudah berasa ada bukti yang menjadi harga mati. Kamu tak berhak dinanti tapi hanya layak diganti. Dengan apa? Dengan sikap yang mantap, bahwa dengan berharap diri ini rusak. Dan tak ada pertanyaan lagi setelah kita menujuk kebenaran jalan, karena disitu kita tak saling menemukan.