12/27/2016

Kedua Kali

Untuk yang kedua kalinya saya merasa jatuh hati itu menyakitkan~
Saya merasa mengalami kegagalan untuk yang kedua kalinya.

12/06/2016

Ketidakinginan

Dalam cerita ini, saya ingin menuliskan beberapa hal. Mungkin, semuanya saya sudah jelaskan agar Tuhan mengerti, bahkan saya selalu berharap doa itu sedang dikemas Tuhan untuk rencana yang mengagumkan. Sejenak, saya berfikir.

Saya tidak bahagia, dalam hening kadang otak saya ramai riuh memadati pikiran. Dalam ramai saya hening pening menciptakan imajinasi hati. Mengapa saya katakan itu, saya tidak lagi berharap dibahagiakan. Saya bahagia ketika membahagiakan seperti itu kira kira.

Saya menjalani berbagai kisah, tentang cerita beberapa orang yang begitu ingin kebahagiaannya tercipta. Saya tidak mempermasalahkan itu.

Dari dulu saya belajar tentang pelayanan, melayani dengan hati. Saya ingin, org yang bertemu saya hari ini pulang dengan senyumannya yang tegas atau kesedihannya yang ikhlas. Percayalah, saya ingin bahagia dengan membahagiakan.

Setelah ini, saya tidak tau lagi. Saya tidak mengerti bagaimana hasilnya. Dalam pertanyaan itu kadang saya berfikir tentang bagaimana cara memberi yang terbaik pada negri.

Saya berputar memilih, seperti dimintai pertanggung jawaban tentang membahagiakan dirinya. Tidak hanya satu, kadang dalam kesempatan yg sama beberapa orang ingin dibahagiakan, ingin dirinya dilayani dengan hati. Tuhan.

Lalu pertanyaan berikutnya muncul. Kapan saya bahagia? Kapan saya dibahagiakan?

Seperti banyak tujuan.
Kebahagiaan begitu luas, hingga kini tak sanggup dirangkul.
Ini tentang siapa?
Begitu pertanyaan memenuhi kepala ini.
Akankah semua ini menemukan akhir?

Bukan saya lagi, kalian bahkan tentang beberapa pembicaraan.
Saya tidak bicara, diam terkunci karena pembicaraan.
Mengarah tetap pada keinginan yang tersusun.
Tak saya acak bahkan susunannya masih tetap utuh.

Taukah?
Dalam perasaan tak imbang, banyak begitu pertimbangan.
Bukannya diam itu memasrahkan?
Atau bertindak itu meresahkan?
Harus apa? Seperti ingin, sebentar lagi tak ingin.
Saya bukan lagi kosong yang sedang menunggu terisi.
Raga terasa penuh, sesak karena ingin tak jadi keinginan lagi.

Perlukah?
Saya menerima ketidakinginan ini.
Pergi lalu bertujuan kembali.
Saya perlu mengerti tentang arti pergi.
Setelah itu akan tau akan kemana kembali
Karena perihal menerima kembali sangat sulit diketahui.

Kata Saya II

Skrg, saya lebih suka bermain dengan kenyataan yang sulit dibanding saya harus belajar dengan imajinasi yang mudah.

Skrg, saya tau akan banyak yang membicarakan ini itu saya biarkan karena saya blm cukup bukti untuk menyatakannya, hanya saja saya berharap waktu dapat mempelajari proses saya.

Saya sudah cukup melihat, mendengar dan berbicara. Yang saya butuhkan hari ini adalah menindak lanjutinya

Sudah saatnya saya berubah, saat saya mengerti bahwa menerima kenyataan memang lebih terjangkau dibanding menerima angan tak terjangkau.

Saya tetap memiliki mimpi, mimpi itu akan saya rangkai sebaik mungkin, setidaknya saya bukan anak 6th yang memiliki impian.

Saya sudah lebih energik, beberapa kali terpaan datang. Saya pastikan saya lebih kuat dari sebelumnya karena yang saya tau masalah semakin menguatkan diri.

Percayalah, dalam mengambil keputusan kita perlu tau resiko terbesarnya, karena terlalu banyak resiko pun tidak begitu berarti.

Saya tidak lagi tau cara terbaik mengatasi ini selain menyadari, menerima dan menindak lanjuti karena hanya saya yang dapat melakukan itu.

Kalaupun hasrat itu lebih kuat dari kenyataan ini, saya lebih memilih berhenti dan menyatakan saya siap menghadapi kenyataan itu sendiri.

Saya tidak sedang dalam pilihan, yang saya tau hidup adalah tentang kebaikan, kalau tidak berarti kesia-siaan.

Kalaupun saya bertanya kenapa ini terjadi pada saya, saya tahu bahwa saya lebih kuat dari ini.

Zainab 21 th~

11/25/2016

Kata Saya

Perlu diketahui, saya tidak berjalan sendiri. Karena saya bersama keyakinan saya.

Saya memutuskan pergi bukan karena tidak kuat bertahan, tapi saya perlu tahu apa alasan saya bertahan.

Saya percaya, tidak ada yang sia sia dalam hidup saya. Hanya saja saya perlu menerima bahwa hidup bukan saja tentang manfaat.

Sekali lagi, saya bukan tidak ingin pergi. Tapi, saya belum tahu akan pergi kemana.

Saya sudah menemukan alasan untuk pergi, yang saya khawatirkan, saya tidak menemukan alasan untuk kembali.

Pernahkah kamu tau tentang masa yang sangat dirindukan, sejak saya mulai mengerti tentang menerima masa lalu dan merang1kainya menjadi masa depan.

Sejak diputuskan pergi, saya perlu tau tentang keyakinan. Saya yakin tidak akan pernah kembali.

Saya tidak lebih dari seorang pemberani, mengambil sebesar besarnya resiko untuk pergi karena itu lebih berarti dari bertahan dengan banyak banyak resiko.

Saya tidak lagi percaya pandangan masa depan saat saya berusia 6th, yang saya perlu ketahui saya sudah pada masa dimana kenyataan sudah didepan, saya bukan bicara tentang nanti. Tapi mengambil keputusan saat ini sangat berarti untuk masa yg sudah didepan.

Skrg, bukan lagi tentang mewujudkan cita cita. Tapi tentang menerima, bahwa dalam mewujudkannya saya perlu bicara tentang ketidakmungkinan yang menjadi mungkin.

Tuhan, saat ini saya hanya berdoa. Berikanlah segala kekuatan pada saya tentang menerima kenyataan hari ini demi kenyataan esok, lusa dan seterusnya.

Tidak ada yang berubah dari cita cita saya, saya hanya ingin bahagia menjadi membahagiakan. Begitupun dengan menerima bahwa saya tidak mungkin mencapainya dengan cara yang sama ketika mindset saya berumur 6th.

Ini bukan tentang cita cita lagi, dorongan untuk selalu berbuat yang terbaik menjadi perihal yang sangat sensitif, karena menyangkut kerelatifan arti tentang sukses.

Karena ini berat, dan cara yang terpikir untuk mewujudkannya sulit. Saya berhak mundur, berhak pergi untuk sekadar mengikhlaskan jalan yang berat dan sulit itu, karena saya tau kalaupun banyak jalan menuju roma, banyak jalan juga menuju mekkah. Saya percaya tujuan saya sudah berbeda karenanya saya perlu tindakan nyata untuk mencapainya.

Saya mengerti bagaimana orang akan menilai saya, menyayangkan hal yang sudah terjadi. Tapi akan lebih menyesal ketika saya mengikuti nafsu tentang satu hal dan lupa esensi tentang masa depan yang begitu luas.

Bukannya ada orang yang tidak mencapai cita citanya tapi dia tetap bahagia, begitupun dengan saya.

Zainab 21 th~

11/17/2016

Makhluk pilihan

Kalau saya jadi kamu, saya akan bertahan pada pilihan. Sekalipun itu menyakitkan, tapi awalnya saja. Ketika kita berusaha meyakinkan diri, kita tidak tau sejatinya rasa sakit. Seakan angin berlalu, berhembus saja.

Saya. Sekarang saya lebih sering memakai kata ini. Rasanya sudah ada penjelmaan diri pada kata itu. Diri telah masuk padanya. Karena sebagian besar cerita tentang saya, bukan kamu, dia dan lainnya. Saya rasa, saya akan selalu berhak menjadi satu orang yang utuh. Memiliki dirinya sendiri, sendiri saja.

Kamu. Bahkan siapa itu tentang kamu. Saya tidak berhak menjadikan kamu seutuhnya. Karena kamu milikmu sendiri. Pernahkah terpikir? Kamu akan sendiri? Terus? Bahkan kamu akan merasa sendiri ketika dengan orang lain selain saya. Benarkah? Tapi saya berhak berprasangka tentangmu, kalaupun Tuhan lebih berhak menjalankan rencanaNya.

Kamu dan saya belum menjadi kita. Dalam paragraf ini, saya tak menyebutnya menjadi kita.  Saya berjanji, ketika penyatuan itu menjadi kesatuan yang utuh menurut Tuhan. Saya berharap pada kesempatan lain tidak ada lagi saya dan kamu. Tapi, Kita~

Berlari lah karena saya tak berkenan mengejarmu, jangankan menyaingimu berjalan saja saya tak ingin. Saya sedang berhenti, berfikir bagaimana diri membiarkanmu pergi, seolah saya percaya akan ada orang setelah kamu yang sedang berlari mengejar saya. Saya terhenti karena sejenak terlintas, akankah pengejaran saya menjadikan kamu tetap kamu.

Tersenyumlah, pilihanmu adalah keyakinanmu. Hingga kini kamu berhenti pada orang pilihan yang sejatinya memilihmu. Saya bukan pilihan, saya terhenti karena saya pun pilihan. Lebih dari itu, manusia adalah makhluk pilihan. Dan sebagaimana pilihanmu itu meyakinkanmu.

Sekarang, saya tau rasanya. Saya berkewajiban menunggu, berjalan lambat dengan perasaan yang mulai terlepas dari masa lalu. Saya ingin, menemukanmu dalam perasaan yang berbeda. Dalam kondisi sebaiknya hati. Walaupun saya perlu kekuatan, saya perlu tenaga. Tapi, percayalah, Tuhan akan menunjukan siapa yang semakin kuat setelah ini selesai.

5/23/2016

Sebab Hujan Akibat

Pening diguyur hujan kemarin seperti bergeroyokan datang menghampiri. Mereka datang tanpa undangan apalagi teguran. Hanya tergambar keluhan pada awan yang tak begitu hitam. Gusar otak diri terdengar desakan ingin menjawabnya. Memutar otak seakan diatas normal bertabrakan. Yang terjadi diatas tapi hati membesarkan dirinya. Terdiam sesaat lalu kembali berputar.

Sampai saat ini, diri belum begitu mengerti. Tidak ada yang lebih baik selain dirinya sendiri. Kebaikan seakan menyambar saja tidak menetap. Kadang kali menggerogoti pikiran hingga hutang tentang perasaan bersalah. Detik ini, menasehati tanpa mengalami sebelumnya adalah hal rumit yang secara tidak sengaja dijalani. Begitu saja terjadi, ada kepala yang terisi solusi.

Menghendaki, memanggut saja seperti menuruti. Pertimbangan tentang pilihan perlu rasa dalam menghadapi. Meratapi karena tertangkap basah, mengakui dirinya sedang dalam pengoreksian. Terus begitu tanpa kekuatan membela dirinya. Takut katanya, seakan dirinya dalam masalah yang besar karena bercerita mengungkap jati dirinya.

Diam saja, diri mudah mengatakan teorinya, rumus bagaimana hujan datang dengan sebab. Walaupun katanya tanpa menegur. Yaa, masalahnya hanya pada dirinya, tidak pada penceritaan yang dialaminya. Kejujuran membuat pemahaman ada yang perlu perbaikan. Pada dirinya, sekali lagi ini untuk dirinya sendiri.

Pengakuan itu, mulai merasuk pada jiwanya. Kedalam hingga dasar hatinya. Ternyata belumlah dikenal siapa dirinya. Tentang hati yang begitu meminta ingin diteduhkan. Tentang pikiran yang meminta ingin dibagikan. Tentang jiwa yang meminta ingin disandarkan. Bahkan tentang hidupnya yang meminta ingin diselamatkan.

Lagi lagi, diri mulai merengek meminta tambahan waktu, mengenalnya, mengenalmu, bahkan mengenal siapapun. Perlu untuk memasuki dalamnya hati seakan tidak ada celah namun ditemukan begitu saja hingga tidak terasa dalam dirinya ada diri yang meluaskan pikiran bahkan nuraninya.

Lalu tersadar, bahwa hati perlu melebarkan nuraninya. Mengedepankan kata pertamanya. Dan menjalankan tanpa pemikiran panjang sebelumnya. Tersenyumlah dalam kebaikan yang tulus. Dan akhirnya mengetahui arti, hujan tidak hanya datang dengan sebab tapi membawa akibat.

5/22/2016

Pergi lalu kembali

Pergi, menjauhi mimpi namun tak mendekati kenyataan.
Berlalu lalang mencari hal yang tidak biasanya.
Tidak ada kenikmatan yang abadi, karena akan selalu ada yang melebihi.
Kesyukuran yang membuat berhenti lalu sejenak melanjutkan kembali.

Setelah ini, pikiran melayang menembus jiwa yang guncang.
Tertarik akan diri yang tidak lagi mengerti.
Ketulusan tinggal buaian usang.
Kesabaran hanya pelengkap candaan.

Kembali, penyanggupan hanya soal teori.
Jawabannya sekedar lawakan tiada henti.
Yang terjadi malah berbalik mengikuti
Sampai hati berkata tak sesuai sebelumnya janji.

Waktu, menagih tanpa melihat kondisi.
Memampukan hal yang belum cukup terisi.
Pembalasan karena tak sesuai petisi
Memaksa lalu pergi tanpa solusi.

Salahkah saja, atau benarkan
Tidak ada diantaranya.
Membisu saat ditanya matanya.
Mengungkap ketika emosi katanya.
Hatinya tak sesuai pikirannya

Tinggal, sendiri bagai tak memiliki.
Menyendiri dalam lamunan memikirkan diri.
Syukur yang membuat berhenti.
Tuhan tidak pernah merasa meninggali.

5/20/2016

Kegamangan

Mungkin dalam penyatuan waktu ada hal yang tidak bisa disatukan.  Semakin membuka diri tapi hati tertutup.
Apakah kebenaran itu tentang kuantitas?
Yang lebih banyak setuju menunjukan kebenaran.

Habiskan pikiran tentang kenikmatan bersyukur.
Pulihkan dari khilaf yang tidak pernah puas.
Rasanya terkaan itu tidak pernah sampai.
Untuk menggenggam saja tidak mampu.

Salahkan jika memang salah, tapi diri seperti tidak menerima apaapa. Diam bagai tak pantas.
Lirih menepi menunggu waktu menghampiri.

Diri ingin jadi dirinya, semakin menjadi semakin terusik perihnya. Menahan seakan semua tinggalah mimpi. Sampai diri ingin dibimbing, memiliki tapi bukan saatnya termiliki.

Diri ingin salah, dihempas bagai terkoyak pikirannya.
Dibuang bagai penganggapan yang tak berguna.
Biarkan diri mengoreksi ditambah pengoreksian.
Diri tidak ingin  sendiri. Itu saja.

Terbiasa Bermimpi

Pengertian tentang kekuatan, merekapun mengerti. Tapi apakah diri mengerti, sejauh ini bertahan lalu menguatkan. Sampaikanlah pada keindahan karena tidak ada lawan darinya. Indah pada waktunya.

Berpikir membuat kita memahami. Rasanya tak sanggup mereka mengartikan pikiranmu apalagi memahamimu. Berdamailah dengan hati, dengan dirimu sendiri. Bagaimanapun caranya, tidak bisa dirubah sesuatu yang telah berketetapan.

Bagaimana org lain tahu kamu kuat? Karena dengan itu bertahan sampai kalau terfikir mereka tidak akan mampu. Penguatan itu refleks terjadi pada setiap ujian. Semakin diuji semakin pula kekuataannya. Tapi apakah dengan penyadarannya juga?

Diri ingin disadarkan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. Kenyataan menghantui satu persatu terlewati. Berlari mengejar anggap saja dilewati.

Diri akan terbiasa bermimpi.
Rangkaian cerita yg hanya terjadi ketika tidur.
Bukan tentang apa mimpinya.
Tapi bagaimana kita menikmati hingga tersadar dalam rangkaian itu.
Tentang kenikmatan.
Tentang kesyukuran diberikan waktu ada dalam rangkaian.
Rangkaian itu menyatu hingga kuat.
Dan sekuat itu kita berharap pada kekuatan
Sehingga yang terjadi bukan lagi ingin tidur.
Melanjutkan mimpi mimpi dan tersadar kita dalam kenyataan.
Nikmatilah mimpimu dan bangunlah dari tidurmu.
@jamlangwatilove

5/08/2016

Pilihan

Riuh menutup kebisingan sampai tak terhiraukan.
Pilihanmu hanya konsentrasi pada pikiran.
Penuh sesak berdorongan sampai bertabrakan.
Lihatlah mereka begitu teramat segan.

Ada aku disana, menatapmu jauh begitu dekat.
Tak ada orang satupun yang terlihat.
Begitu mudah mengenapkan langkah.
Berjalan seakan kau menatap searah.

Kita saling berdiskusi.
Menari dalam kenyamanan yang ganjil.
Memadukan setiap lebih dan hal kecil.
Membangun atap dan dinding kuil.

Hingga,
Mereka mendesak, menjatuhkan sampai terluka.
Membelah atap dan dinding sampai terbuka.
Menarik satu dengan lain sampai terpisah.
Melebarkan jalan dengan waktu sampai menyerah.

Aku pun tersungkur.
Rasanya mendekat adalah bukan pilihan.
Tak sanggup lagi aku lanjutkan.
Walau pikiran tak sesuai perasaan.
Walau hati tak sejalan.

Kamu pun terjatuh.
Belum bangun karena tidak ingin melihat keadaan.
Masih saja kau bergumam dalam pilihan.
Katamu tak sesuai keinginan.
Kadang hanya terdiam dalam keheningan.

Dalam keramaian, bertemu
Dalam sepi, rindu
Dalam diri, menyatu.
Namun, dalam hati ragu.

5/06/2016

Surau Sekarang~

Panas terik begitu menarik perhatian
Ragu menoleh kearahnya.
Perih terasa menggores pandangan.
Melaju sambil merunduk kepalanya.
Mengganggu sedikit perjalanan.
Bias pancaran silaunya.
Diam diam merusak pikiran.

Rindu dia bilang.
Hujan tak kunjung datang.
Risau mata memandang.
Menunggu sipetualang.
Apakah dia lupa jalan pulang?
Ataukah ada diantara penghalang.

Suraumu sepi tak bertuan.
Meraung tak ada yang mendengar jeritan.
Bisiknya lemah menusuk pikiran.
Lirih dianggap hanya tempat keluhan.
Terdengar kata ingin bersamamu dan kawan.
Mengkaji dan menyetor hafalan.
Namun kita hanya terus berjalan.

Musim memang benar berganti.
Rasanya rindu itu hanya candu.
Mengajak sekedar tanpa ayuhan bukti.
Lalu hilang bagai angin menghapus debu.
Risih mengucek mata debu bertepi.
Tapi terus melaju hingga tabu.

Apa kau tidak butuh hujan?
Bukan dengan itu kau akan berteduh?
Merdu syahdu suara setiap pekan.
Mengharap hujan menghapus rindu.
Apa kau tidak takut hujan?
Petir menyambar, angin bertiup gaduh.
Namun kau tenang dalam pelajaran.
Membaca Alquran dan terus mengadu

Saya rindu, surau pun begitu.
Musim ini akan berlalu.
Sampai hujan juga rindu padaku.
Itulah kehidupan, sekarang tak seperti dulu.
Dan bagaimana mensyukuri itu

Hujan turun, lembut menyapa sesuatu yang usang.
Aku berlari menerjang angin permulaan.
Kamu memakai bekal mengeluarkan payung.
Petualang sudah terbiasa melawan .
Dan diantara kita tidak lagi mencari
Suraupun sendiri menyediri.
Dirinya tak lagi menjadi tempat terakhir yang dicari.

(Masih) Puisimu

Terukir tak begitu rapi.
Terpikir menolak bertepi.

Kalau saja, mimpi bersyarat tapi.
Bayangmu tak segan mengikuti.

Kau pun harus mengerti
Modernisasi mengubah ilusi.
Kata pasti berubah puisi.
Kata nyata berubah misteri.

Aku ingin hilang.
Merasuk pada jiwa yg tenang.
Menemukanmu terhempas terjang.
Merintih seakan tidak ada orang.

Keras, bagai suara meriam.
Dingin, bagai es menyerupai batu.
Kamupun hanya diam.
Tak sadar diantaranya ada sesuatu.

Aku disini, menunggu diri
Menemukanmu bukan dalam mimpi.
Tapi apa yang kau cari.
Bukan lagi aku, namun sepi.

Hanya butuh waktu membatu.
Mencair, pecah tak berbentuk.
Nyatanya kau tidak pernah menyatu.
Berair diri sendiri mengutuk.

Menemukanmu, aku hendak ingin.
Menggapai namun tak sampai.
Kakiku terasa lebih dingin.
Diammu enggan memulai.

5/04/2016

Puisimu

Kenapa tidak pernah bertanya?
Sekarang, nanti, bahkan selamanya
Apa alasan diri bertahan
Menunggu sampai merasa bosan.

Katamu mampu mengubah pelukan.
Pikirmu mampu mengganti keluhan.

Biar, diri saja yang menanggung.
Pundakku mampu menjanjikan.
Pudar, setelah hilang diri merenung.
Rasaku mampu mengembalikan.

Ada, akan tetap diatara keberadaan.
Sulit tak mesti diberitakan.
Beda, akan tetap diantara perbedaan.
Rumit tak mesti diceritakan.

Kita saja, atau Tuhan saja?
Atau salah satu diantaranya.
Bertahan, atau menunggu itu sama saja.
Atau nanti sampai selamanya.

Diri tidak mampu mengatakan percaya.
Diri tidak mampu menyatakan sebenarnya.
Tuhan belum berkesempatan menyatukan keduanya.
Dan dengan itu tak ada lagi tanya.

5/03/2016

When did you changed?

Diri berada dipelataran rumah.
Hal beda yang tidak pernah.
Bergumam lembut sambil mengangkat wajah
Demam hingga keringat basah.

Tidak kah kau merasa ini hina.
Pembalasan tak setimpal pena.
Sajak mu kini hanya fana.
Pikiran pun sudah sulit cerna.

Teringat, akan mimpi lalu
Terucap, bergegas berlalu.
Tersimpan, menahan tak mampu
Terjatuh, dalam mesin waktu.

Kini, tersadar sudah mati.
Dingin mulai perih menyelimuti.
Terasa begitu memanah hati
Janji bagai menagih bukti.

Kapan? Diri lemah terputus diantara asa.
Menanggung harus yang tak kuasa.
Bukan? Diri pernah berusaha bisa.
Terkepung terus tak terasa.


Jangankan dunia, diri saja belum menyanggupi.
Hati saja terasa tertutupi.
Semua kini hanya mimpi.
Tergeletak bersama sepi

4/30/2016

Usia keemasan

Banyak perkiraan yang meleset, jatuh namun tidak melukai.
Diantaranya terdapat kisah, ada hanya membuat resah.
Yang terpikir jauh, dalam, panjang bahkan tidak sampai.
Tersesat bahkan sering kali samar menyertai.
Mengerti dengan sendiri, mencoba tawar menawar.
Terus seakan tidak mengerti lagi arti.
Menggali seakan harapan semudah pengungkapan.
Telah sampai tapi belum mencukupi walau tertutupi.

Apalagi yang akan dicari? Mimpi tak kunjung berhenti sampai mati. Bahkan harapan hampir tercapai perlahan.
Ada yang kurang? Berbisik belum berisik hanya saja mengganggu perjalanan pulang.
Untuk apa dikatakan itu? Pulang belum sempurna sama saja.
Bukan saat ini, pergilah mencari atau mungkin berdiri menegapkan diri yang mulai lemah.

Lagi lagi, diri hanya berkicau sehingga terlihat risau. Mereka tidak paham untuk sekedar melihat ada hal yg belum padam. Tenang, tidak berkobar namun membara. Hanya saja jika tertetesi saja, diri tidak sanggup mengimajinasi.

Banyak yang bilang apalagi? Untuk apa? Diri masih lemah melangkah, masih lunglai memulai, masih ragu melaju. Perkataan seakan mudah, memberi celah penikmat keindahan fana. Diri tidak ingin abadi, hanya saja mengabdi bukan hanya dengan yg berbudi. Tapi, mengabdi pada diri dengan terus berlari, walau mimpi telah tertumpuk dalam pelarian itu sendiri.

Dalam proses, hasil kadang hilang timbul. Mengekang, menetap pada keadaan yang tak kuasa tertahan. Ini perintah atau sekedar ujian yang mengarah pada kesejatian. Seperti itu, terbayang dengan tumpukan mimpi keindahan. Adakah hasil yang buruk? Hingga proses tidak lagi sejajar dengannya.

Dalam keadaan, saat terlihat lebih mengerti dan memahami. Padahal hati perlu mengilhami, padahal diri perlu mencari diri. Hingga ketika telah sempurna, diri akan pulang dengan membawa yg pernah hilang. Kalaupun tidak, itu berarti diri sudah bijak menyikapi.