2/27/2015

Ada Apa~

Aku hanya ingin bercerita dan itu lebih dari cukup, bukan ingin bercinta yang terasa begitu gugup. Hanya sekedar berkata bahwa diri ini mulai tertata bukan lagi diri yang buta. Tak ada yang dipinta selain serta dalam cerita. Menimpa diri yang hampa dan terlupa bahwa ada apa.
Kenapa begitu nyaman, mengatakan diri ini aman bersama. Bagaimana taman tak menghiraukan bunga dengan keindahan yang melengkapi walau tak lama. Walau hanya sekedar teman, tapi sekadar saja ijinkan mengatakan ada keadaan yang pudar setelah dengan mu. Kenapa begitu nyaman, mengetuk iman ini tersadar. Bagaimana hujan mengalahkan reda dengan terus meramaikan walau tak berhenti. Walau hanya ada kata menyesakkan dada menghapus luka yang tak bertepi.
Lalu seperti apa aku harus bersikap? Lurus seakan tak ada terus dibalik kita. Belok seakan tak ada besok dibalik kita. Rupanya, aku yang menemukanmu kemarin dalam gundah namun indah yang terjadi. Kamu yang menemukanku hati ini dalam keadaan yang tak pernah aku mengerti. Apa ada hati? Atau malah mati? Itu terserah yang membuat diri ini pasrah menyatakan menyerah walau sebelum terpanah.
Dalam diri bertanya? Apakah akan terus sendiri tanpanya? Berdiri sampai lari dengan harap dicari. Langkah yang bertingkah merasa mengolah mengatakan tak usah memikirkan resah yang membuat gundah. Kapan kau akan terlupakan? Jika diri ini menetapkan ada hati yang sengaja berharap saja. Dimana diri ini tertinggal? Jika diri ini terpenggal ada rasa yang memaksa tanggal kuasa. Siapa yang teringat? Jika diri ini berkeringat mengejar hari ada iri yang belajar kuat.
Aku hanya ingin bercerita bukan bercinta, atas pelukan yang dari derita. Menjerit ingin menyampaikan hanya denganmu aku merasakan. Jangan berikan aku jarak atas obrolan yang membuat aku serak. Mereka pun bersorak seakan kita ada apanya. Padahal apa? Kita hanya diam, menepi memperbaiki diri. Hanya bergumam dalam hati walau sendiri. Apakah pantas? Menata lagi bekas yang tak berkelas. Apakah wajar? Mengeja lagi belajar untuk tidak mengulang kesalahan yang hilang.

Ada apa? Sampai saat ini aku mengatakan pada diri ku sendiri. Mungkin denganmu pun kembali bertanya. Apa ada?

Jenuh

Jenuh terasa penuh yang akhirnya mengeluh. Tak kehabisan akal untuk mengatakan ada asa yang tertinggal meski bekal belum cukup. Tak kehabisan pikiran untuk meneliti ada mimpi yang belum wujud. Tak kehabisan batin untuk meresap ada sikap yang belum tertutup. Jenuh dengan aktivitas yang hanya kandas ditelan waktu. Walau tersimpan berjuta keinginan yang melintas tanpa berfikir ada cerita dibalik itu.
Kita hanya diwajibkan mengerti dengan mempelajari, entah dengan cara apa dan ritual apa mesti tersusun rapi dalam hati. Kita hanya berhak memihak segala hal yang perlu kita turuti, entah dengan keadaan seperti apa dan fisik apa mesti terus mengusik dalam diri. Kita hanya mengangguk mengatakan dengan sanggup, entah apa yang disanggupi mesti raga mulai gugup untuk menjalani.
Tak ada memang penyesalan yang berujung sialan. Hanya ini yang dapat dilakukan. Kita pun selalu pergi tak berarti meski hanya melewati. Dimana ada banyak cinta yang selalu tumbuh menghinggapi tanpa harus dihadapi. Sebenarnya, ini selalu mengusik ketika buruk selalu menggoda kebenaran. Mengatakan lelah berjuang walau diri belum pernah riang. Mengatakan perih merasakan walau diri belum pernah lirih mengutarakan. Tak sangka ini hanya prasangka yang belum tentu menjadikan buruk. Tak sangka hingga kuasa diri ini terasa puasa yang belum tentu menjadikan terpuruk.
Sedikit itu sepertinya sulit dan hal rumit. Sampai ada angkat yang perlu ditangani dari perasaan yang hanya terjadi saat ini. Sampai ada turun yang perlu dilangkahi dari perkataan yang tak mungkin terjadi lagi. Sedikit memang tak sesuai dengan katanya. Tapi itu hanya sekelumit kenyataannya. Biarlah sedikit ini menyemangati diri tiada henti bahwa mati itu pasti dan berhenti itu tidak menandakan kita lebih berarti.
Katakan pada diri sendiri, bukakan mata hati diri sendiri. Akan ada yang tertawa jika kita terbawa. Akan ada yang tersenyum jika kita belum. Akan ada yang melirik jika kita tertarik. Percayalah itu tak akan menjadikan kita apa? Tapi mengapa kita seperti demikian. Bukannya itu hanya membuat kita sekian.
Namun yang pasti, ada yang menangis bahagia ketika kita selalu merilis demi melawan penuh yang jenuh itu. Semangatlah dengan menyemangati, rindulah pada kebenaran sejati, ada luka hati yang mulai ditutupi bahwa ini mesti diobati. Bersigap untuk mulus sampai hinggap teruntuk lulus.

Waktu itu ~

Payah diri ini karena terlalu lelah sampai sudah waktunya menyerah. Ingin rasanya hati ini pecah untuk sekedar memilah menemukan diri yang hatinya juga terbelah. Hanya diri ini saja, hanya insan seperti aku saja. Terlihat bersahaja walau hati mulai tertutup senja. Senja yang katanya sementara namun ternyata sulit tiada tara. Memulai meski belum ada yang memulai, mengakhiri meski sudah seharusnya berakhir.
Apakah kamu tidak pernah jatuh setelah patah? Tidak pernah cinta setelah terluka? Ini hanya untukmu, yang menoleh ketika bisikan aku menorehkan sedikit kisahmu saja. Lalu apa yang aku ingat? Penat, merintih merasa ini tak seharusnya dinanti. Soal gender yang membuat minder hanya membuat mereka ramai saat kita baru memulai. Apa yang dimulai? Karena kamu hanya terkulai merajut mengatakan ini tak perlu untuk berlanjut. Karena kamu tidak pernah memulai sebelumnya, dengan siapapun itu.
Apa yang membuatku saat ini gusar? Apa karena kamu tidak ingin patah setelah patah, atau aku yang tak menarik untuk sekedar dilirik? Sementara ini, aku jatuh masih tersayat oleh penatku sendiri. Tak semestinya ini berlanjut mengingat kabut yang waktu itu saja kita rasakan. Karena waktu itu mungkin hanya candaan yang hanya mengusik gundahan kecilmu. Karena kamu berfikir terlalu kikir untuk diukir dalam kisah yang akan berakhir.
Kita sama, tapi hanya mereka yang merasa. Aku? Melawan untuk segera menghadapkan diri pada kaca. Kamu? Tak mungkin selintas saja menuliskan aku dalam kertas penamu. Lantas mengapa aku merasa hati ini terkuras, seakan kaca itupun menghantam dengan keras membuat bekas waktu itu.
Jatuhku cinta tapi tak meminta, rinduku sendu tapi tak mengadu. Resahku basah tapi terpisah. Rasa ku asa tapi tak kau rasa. Sepi ku menepi tapi hanya mimpi. Bingungku linglung tapi terbendung. Kamu pun tau kita hanya bertemu satu waktu. Namun aku yang tak mampu untuk tau kamu hanya menyatu pada waktu itu.
Mengapa aku merasa lebih sendu setelah ini, perasaan yang tak menentu mulai menyatu yang bukan denganmu, tapi dengan indahnya waktu itu. Sampai kini aku hanya menjadi penghafal yang cepat namun tak melupakan dengan hebat. Karena waktu itu terlalu kuat untuk diingat.

Lewat menulis mataku teriris mengenang waktu itu ketika kita berbaris melihat ada penat yang tak perlu diingat. Meski mata ini terlalu dekat dengan belikat itu, tapi tersekat oleh hatimu. Lewat membaca diriku berkaca mengingat waktu itu ketika kita hanya sebatas cerita. Meski diri ini melebihi harapan yang sekedar waktu itu saja. Waktumu, waktu itu bukan untuk kita bertemu. Namun itu hanya candu yang perlu saya menyatu pada waktu itu.

2/26/2015

Jatuh (lagi)

Akan ku biarkan aku jatuh dengan utuh, sampai kamu akan merasa luluh. Dalam pandangan yang tak rela jika ditinggal pergi oleh kerasnya getaran yang tepat terasa menyamarkan luka yang masih berperan melawan kenangan yang lama seolah terobati pelan namun sampai menunggu berbulan bulan. Kelihatan dekat namun jauh, seolah melekat dengan erat namun sulit ditempuh.
Perlukah bukti yang kini menyakini hati ada jatuh dengan lagi mengiringi selangkah pada setiap tepi yang tegas memantul pada keangkuhan diri. Berhenti, menatapi pertemuan yang sudah berakhir namun sulit diakhiri. Seperti mengenal lebih sakti dari rasa ini, walau tak teryakini. Hanya ini, sampai disini masih suci tak ternodai.
Masih berharap, walau bukan pada harapan yang tak pernah terucap dari hati. Namun sikap, tanganmu mengusap luka yang bertahap mulai siap mengulang penuh harap yang lagi tak sama semoga dengan sebelumnya. Daya ini terlelap menjadi bunga yang berhenti mengucap resah. Karena ketika dengan mu, semua terasa penuh harap.
Jatuhku denganmu bagai waktu itu menutup rindu. Aku lagi jatuh namun menutupi, mulai meresapi tapi tetap saja berhenti untuk menanti.
Sambil berhenti, aku meratapi dengan dasar apa aku harus menanti. Sedang tidak ada sedikit langkah untukmu memulai menepuk diri ini. Sedang tidak ada mimpi yang kau simpan setelah sikap yang penuh harap. Sedang tidak ada sepertinya rasa yang terasa mengakhiri asa.

Dengarlah katamu sendiri karena hanya denganmu akan kuakhiri. Meski harus pergi atau tetap menanti. Jatuh ku tetap utuh karena butuh, semoga kamu tetap mengerti ada pintu yang terbuka dengan kunci yang menggantung sepi. Entah siapa yang akan mencoba menepi dibalik pintu itu atau bahkan hanya melangkah pergi karena telalu terbuka untuk pergi dan menepi.

2/25/2015

Haru Biru

Kisah pilu, kisah malu yang tak selalu, meski aku, kamu tak mau merasakan haru, walau mata mulai membiru, walau raga mulai kaku, walau hati mulai membeku. Kamu tetap bersikuku, menatapku ragu seakan rindu yang dulu tak ada lagi padamu.
Ah sudahlah, sudahkan keresahan yang bahkan semakin parah jika dipertahankan. Biarkan waktu yang berhak menyatakan akan kemana kita datang, akan kemana kita pergi untuk menahan arahan hidup yang masih menjelang
Bumi ini selalu berputar, bergetar semakin terasa. Sukar memang menghentikan yang sejatinya selalu benar. Sukar menentukan dimana cahaya lebih banyak berpijar.terkadang gentar, merasakan goncangan yang tidak banyak orang sadar merasakan.
Disini, kita habiskan waktu untuk membahas soal. Meski terkadang bahasan itu hanya soal waktu saja. Kita terlalu berburu menyimpan ruang yang sesak oleh perkataan, namun seperti kosong menghabiskan diri untuk keadaan yang semu.
Saya rindu, dan ini bukan hal baru, sampai lupa rasa bagaimana cemburu. Rindu ini seakan tak pernah mendengar kebenaran, tak pernah melihat kesemuan, tak pernah merasa kefanaan. Semoga saja ini terungkapa, bahwa rindu sedang terpeluk erat siapa yang akan menangkap walau sulit terucap.

MERAH

Merah, rasanya diri ini mendengar segala kebaikan yang belum sempat tersadari. Seakan merona mengudara tanpa mengenal arti dari warna diri ini. Sampai dada ini sesak tak berdaya, sampai hati ini lemah menatap sesuatu yang mulai diperbincangkan orang. Sampai raga ini tak kuat menopang harapan yang kesekian kalinya.
Ada apa ini? Kenapa seperti aku yang menginginkan diri ini tau bahwa ada sedikit asa yang mulai menumbuh? Mengukir diatas resah yang sulit aku tenangkan. Mengapa ini? Terjadi seakan begitu saja dengan segenggam ucapan manis yang menggoyahkan jiwa. Jiwa yang rapuh tak serapuh pembawaannya. Jiwa yang selalu terbang melayang indah dengan alunan motivasi orang lain.
Bukan sebuah permulaan, karena ini telah ku rasakan sejak dulu. Sejak sebelum aku menyukai ini lagi, sejak sebelum aku membenci kenangan ini lagi. Bukan sebuah akhiran, karena ini bisa saja aku teruskan tanpa henti. Mengikuti liku yang sudah ku jalani, yang mungkin tanpa kamu.
Ini membuat aku tenang, membuat aku semakin menjatuhkan hati pada pesan yang indah. Mengubah rindu menjadi sendu yang merdu. Mengubah rasa menjadi sangat terasa. Mengubah harapan menjadi penerapan yang memiliki masa depan. Tak kuasa untuk memeluk diri ini se erat eratnya sampai akan sadar diri ini pun akan hancur jika terlalu keraskan.
Akan kulihat jalan yang dulunya sepi hingga ramai, akan ku lihat bunyi yang dulunya sunyi akan terdengar. Akan kulihat riuknya angin yang pelan menjadi sangat kencang. Akan kulihat malam hingga pagi menjelang. Sampai akan kulihat diri ini terbakar membara, mulai mengikuti pesona merah yang tak akan padam.
Ini lah diriku, sendiri, sepi

Tak Senyaman Dulu~

Mungkin ketika nyaman adalah pilihan terakhir dari ini saya lega karena seharusnya itu selalu dirasakan tanpa melihat siapa dan kapan itu kamu. Ketika nyaman adalah pilihan yang sesungguhnya sehingga tak melulu mengantar pilu yang sampai saat ini masih terasa. Ketika nyaman adalah pilihan seutuhnya posisi yang akan membentuk keindahan yang semu jika dengan kamu.
Salah adalah ketika diri terlalu lemah untuk menerima harapan yang belum jelas artinya. Ketika diri menyatakan diri untuk selalu ingin menjadi satu-satunya.  Ketika diri rela menunggu tanpa mengerti lelahnya penantian itu. Dan ketika itu terhayut dalam ombak yang membawa hempasan membentur karam yang tajam, sampai perih.
Mungkin saya terlalu menginginkan kita bukan kamu. Tidak ada lagi hampa dalam diri. Tidak ada lagi resah dalam diri selain memikirkan kita. Tidak ada lagi rindu jika sampai aku dan kamu menjadi kita.  Tidak ada lagi bosan dengan perasaan yang masih tersamarkan.
Sadar adalah dimana diri ini mulai bangkit melawan sakit yang mulai menyelekit. Dimana diri ini membenci dengan pasti terhadap hati yang tak kunjung mengerti. Dimana diri ini terasa terluka menunggu peka yang hanya datang seketika. Dimana diri ini berakhir aku tanpa kamu sampai pikiran membeku.
Harusnya, tak senyaman dulu. Tak seindah dulu aku dengan mu yang tak akan menjadi kita. Karena hanya aku yang sangat berjuang, merasa diri sangat periang, walau banyak rintangan, berharap aku dan kamu terbentang nama menjadi kita. Tak separah dulu aku menerima semua keputusan atas nama kita walau itu adalah dirimu saja.

Aku pun mulai merasa, sudah saatnya aku menegaskan asa yang kau sengaja permainkan. Bukan untuk mengungkit keindahan dulu saat senyaman itu. Karena aku mulai bosan dengan guratan yang tertanam dalam kebingungan yang panjang. Dan itulah aku, kamu pun harus mengerti aku seperti halnya dulu aku mengerti alasan keputusanmu. Sudah saatnya kita tertinggal dengan alasan yang sudah pasti kamu tau jawabanya. Karena aku sudah lelah menunggu perasaan yang tersamarkan itu. Dan hati yang mulai melekat pada tak senyaman dulu~

Harus cerita ke siapa?

Harus? Mungkin sudah semestinya itu dilakukan, begitu pun dengan rasa yang banyak tertanam dalam hati akibat guncangan diri yang entah kapan berhentinya. Meski diam adalah cara terbaik menghadapi masalah ini namun tidak memiliki solusi yang pasti dalam fakta dikehidupan ini.
Ini bukan tentang aku, tapi tentang mereka yang selalu menemani proses ini. Ada apa dengan mereka? Akankah kelelahan itu tidak hanya dibibir saja tapi implementasinya berdiskusi dengan ragu dengan hati ini. Inikah keluhan terparah yang pernah dirasakan. Inikah rasanya sendiri dengan sejuta harapan yang belum sempat tersampaikan. Dan inikah kehidupan yang sebenarnya ketika tidak ada lagi dukungan selain diri ini sendiri.
Ketika pergi aku hanya berharap ia akan kembali dengan kekuatan yang lebih dari sebelumnya. Ketika diam aku hanya berharap celotehnya lagi untuk selalu menemani proses ini. Ketika lelah pun aku selalu berharap semangat itu menjadi melebihi semangat diri ini.
Tapi akankah harapan itu menguatkan aku pula dalam proses ini. Akankah hikmah menghampiri diri ini yang selalu menagihnya dalam setiap guncangan yang terjadi. Akankah mereka hadir kembali dalam respon positif yang terjadi atas diri ini.
Lalu harus kepada siapa aku bercerita? Mungkinkah aku lupa masih memiliki Tuhan yang maha segalanya dalam keadaan apapun. Dan demi nikmat yang selalu menemani kehidupan ini aku bersyukur tanpa rasa pamrih. 

Tidak Ada Pilihan Lain

Sore ini, aku mulai bosan dengan gurauan yang tak ada habisnya diperbincangkan lewat emosi yang tak akan pernah meluap sampai kita benar menyatakan diri ini salah. Karena semua hanya pantas dituruti atas dasar kewajiban yang belum semestinya. Karena apa yang telah direncanakan belum sampai pada tujuan sepenuhnya. Karena apa yang telah digariskan belum berbatas tegas dengan kenyataan yang sebenarnya. Dan karena mereka bukan tidak pernah merasakan namun sudah lebih kuat mengatasinya.
Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Tanpa ada perasaan benar atau salah yang mulai mengusik kebanyakan orang. Diri yang dapat memiliki dunia tanpa harus lupa menyapa bahwa kehidupan ini adalah tentang hari ini. Hari ini yang tak lepas dari goresan luka melukai banyak keresahan sebelumnya. Diri yang lemah jika harus dihadapkan dengan tidak adanya pilihan. Pilihan memiliki arti, sampai tak mengerti cara mengartikannya.
Tak ada salahnya kita mengikuti kerinduan yang selalu hadir menutupi keresahan yang pernah diberikan. Hingga siapa nanti yang akan menyatakan rindu itu lebih dalam dengan sikap yang seutuhnya benar ada. Tapi jika memang tak pantas menyampaikan, biarkan rindu itu yang membawa pulang rasa kembali kepada siapa yang berhak dirindukan.
Walau tidak ada pilihan lain untuk menyatakan, walau tidak ada kata lain selain yang saya rasakan, walau tidak ada kemungkinan akan berbalik darinya. Saya merasa ini adalah senja yang akan hilang dibawa malam yang panjang. Karenanya sementara adalah waktu yang dapat melayangkan harapan yang tak berujung. Dan hanya itu yang saya mengerti tentang hari ini, sementara.

Sekali lagi, tentang hari ini. Rasanya cukup banyak mendengar bahwa diri ini merasakan pilu atas kisah yang baru. Namun terdengar malu bahwa diri ini rindu atas kejadian itu. Sudahlah, ada yang perlu untuk diperlukan tercapai dalam waktu dekat ini. Walau waktu bergulir tiada henti menggusar hati hingga sepi karena tidak ada pilihan lain selain menepi.

2/23/2015

Pandangan Pertama

Lelah, tak sempat ku ceritakan ini pada siapapun. Rasanya hati cukup bergetar membaca seuntai kata yang meliuk seperti kisah pengalaman pada buku yang baru saja ku beli. Ingin rasanya meluapkan ini, tapi pada siapa? Pertanyaan yang sebaiknya tak memiliki jawaban.
Rindu, tapi tak mengerti bagaimana menyatakannya. Bagaimana mengungkapkannya jadi suatu sikap yang tidak salah tingkah. Bukan tidak berani namun lebih berhati hati dalam menyikapi hati. Meski tak sampai, aku berharap dia merasakan tak perlu balasan. Hanya butuh peresapan yang sampai mengubah rasa jadi perasaan.
Rasa, tak ada salahnya aku menerka, membaca bahkan mengerti tentang sikapmu yang baru ku kenal itu. Aku tak ingin kita hanya menjadi sepi yang tak berarti dalam obrolan panjang waktu itu. Aku pun tak ingin kita menjadi ramai yang berati dalam pertemuan singkat itu. Namun aku hanya ingin kita bisa menjadi kita yang seutuhnya, yang tidak menggerutu ketika harus bercerita kepada siapa, ketika harus bagaimana dengan jawaban yang akan didapatkan oleh opini yang belum pernah terdengar lewat hati.
Indah, kenapa begitu saja seperti sedia kalanya. Mungkin kemarin hanya kebetulan, sampai lupa akan perasaan yang belum sempat dinyatakan. Mungkin kemarin hanya khilaf, sampai tiada henti memikirkan respon baik buruknya orang orang yang melihat pertemuan kita. Mungkin kemarin hanya semata, tak pernah sejalan hingga kita sulit dipertemukan lagi dengan sehati.
Sulit, seperti kebanyakan orang lain yang terlalu mengagumimu, bahkan menginginkanmu. Mungkin ini, ini yang terbaik. Akankah pandangan ini hanya jadi yang pertama tidak berakhir. Akankan pandangan ini tidak memiliki akhiran yang baik atau sekedar menjelaskan bahwa ada rasa yang mungkin dimiliki diantara kita namun perlu kerendahan hati untuk menyatakannya. Akankah pandangan ini tetap akan menjadi satu satunya yang pertama tanpa kita harus mengulang dan mengakhirinya.

Sayang, saya menamakan ini semua atas nama yang tidak ada perbedaan apapun dalam soal rasa. Saya menamakan ini semua atas nama trauma yang selalu saya jadikan alasan bagaimana saya harus berhenti dan mengakhiri pandangan pertama ini. Dan saya mengatasnamakan hati yang sudah terlalu lama terluka dan sulit untuk mengerti ini apakah kebetulan atau benar pandangan pertama yang akan berubah jadi perasaan yang sejati.

2/12/2015

Saya Mengerti, Saya Yang Salah

Hidup yang katanya penuh liku-liku, sama aja sih kayak life is never flat. Sempet bingung cari siapa, dimana, kapan, bagaimana yaaa intinya 5W 1H, iya kaan? Pfft, kadang ngeluh itu gak sadar yaaa. Sampai bingung sama keluhan yang dikeluhin itu apa. Mungkin, kebanyakan nanya sama pasien tentang keluhan utama pertama datang kali yaa.
Mungkin, hidup ini memang penuh kemungkinan tapi lebih banyak juga kepastiannya. Yaaa itu urusannya langsung aja horizontal sama Alloh. Mengerti belum tentu memahami, belum tentu juga melakukan. Kan justru itu yang sulit, berat rasanya menyeimbangkan pikiran, hati, omongan dan tindakan. Yaaa itulah hidup.
Dari tadi, kayaknya hidup terus yang diperbincangkan. Padahal itu hanyalah kemungkinan. Implikasinya sama aja kayak nunggu. Nunggu kamu? Bukaaaaan, nunggu kematian? Loh ngapain ditunggu? Lebih tepatnya dipersiapkan, minimal bekal hidup untuk mati. Jadi kalo mati yang sudah pasti aja harus dipersiapkan, kenapa kalau kamu yang belum pasti mesti aku persiapkan dengan sabar. Yaaa kenapa yaaa?
Kadang sempit sih kalau mau bicarain jodoh, yang katanya ditangan Alloh dan diusahakan oleh manusianya. Katanya memang benar terkadang. Tapi usahanya ituloh yang agak sulit, sulit karena kamu gak usaha. Iyakan? Hmmm.
Nahh sepanjang ini bingung kan mau intinya apa? Iyaaa bingung karena sekuler terhadap perbandingan keadaan yang sesungguhnya memang pasti. Hidup atau mati itu pasti bahkan sudah ada ketetapannya. Lalu, apa yang jadi permasalahan? Tinggal hidup tidak jauh dari Alloh untuk mati. Karena itu yang pasti!
Ngapain sih harus ngeluh? Ada gunanya yaaaa? Bukannya sombong karena udah jarang ngeluh lagi, yaaa walaupun belum istiqomah sih jalanin semuanya. Tapi InsyaAlloh, La Tahzan Allohumma Ana.
Rasanya sayang banget kalau hidup Cuma cari yang gak pasti, bahkan nunggu yang gak pasti. Ternyata, hidup juga punya standar operasional prosedur yaaaa. Yaudah, buka lagi proker hidupnya, buka lagi Alqurannya baca maknanya, buka lagi Almatsuratnya ambil hikmahnya, denger lagi ayatnya sampai kamu menemui kepastian. Itu HIDUP! SEMANGAT ZAINAB!!!!!

Jadi ngerti kan siapa yang salah? Intinya introfeksi diri dan evaluasi diri lebih baik dari pada menyalahkan orang lain apalagi lingkungan yang gak pernah tau dan ngasih jawaban tentang kepastian hidup ini. Gitu!