5/23/2016

Sebab Hujan Akibat

Pening diguyur hujan kemarin seperti bergeroyokan datang menghampiri. Mereka datang tanpa undangan apalagi teguran. Hanya tergambar keluhan pada awan yang tak begitu hitam. Gusar otak diri terdengar desakan ingin menjawabnya. Memutar otak seakan diatas normal bertabrakan. Yang terjadi diatas tapi hati membesarkan dirinya. Terdiam sesaat lalu kembali berputar.

Sampai saat ini, diri belum begitu mengerti. Tidak ada yang lebih baik selain dirinya sendiri. Kebaikan seakan menyambar saja tidak menetap. Kadang kali menggerogoti pikiran hingga hutang tentang perasaan bersalah. Detik ini, menasehati tanpa mengalami sebelumnya adalah hal rumit yang secara tidak sengaja dijalani. Begitu saja terjadi, ada kepala yang terisi solusi.

Menghendaki, memanggut saja seperti menuruti. Pertimbangan tentang pilihan perlu rasa dalam menghadapi. Meratapi karena tertangkap basah, mengakui dirinya sedang dalam pengoreksian. Terus begitu tanpa kekuatan membela dirinya. Takut katanya, seakan dirinya dalam masalah yang besar karena bercerita mengungkap jati dirinya.

Diam saja, diri mudah mengatakan teorinya, rumus bagaimana hujan datang dengan sebab. Walaupun katanya tanpa menegur. Yaa, masalahnya hanya pada dirinya, tidak pada penceritaan yang dialaminya. Kejujuran membuat pemahaman ada yang perlu perbaikan. Pada dirinya, sekali lagi ini untuk dirinya sendiri.

Pengakuan itu, mulai merasuk pada jiwanya. Kedalam hingga dasar hatinya. Ternyata belumlah dikenal siapa dirinya. Tentang hati yang begitu meminta ingin diteduhkan. Tentang pikiran yang meminta ingin dibagikan. Tentang jiwa yang meminta ingin disandarkan. Bahkan tentang hidupnya yang meminta ingin diselamatkan.

Lagi lagi, diri mulai merengek meminta tambahan waktu, mengenalnya, mengenalmu, bahkan mengenal siapapun. Perlu untuk memasuki dalamnya hati seakan tidak ada celah namun ditemukan begitu saja hingga tidak terasa dalam dirinya ada diri yang meluaskan pikiran bahkan nuraninya.

Lalu tersadar, bahwa hati perlu melebarkan nuraninya. Mengedepankan kata pertamanya. Dan menjalankan tanpa pemikiran panjang sebelumnya. Tersenyumlah dalam kebaikan yang tulus. Dan akhirnya mengetahui arti, hujan tidak hanya datang dengan sebab tapi membawa akibat.

5/22/2016

Pergi lalu kembali

Pergi, menjauhi mimpi namun tak mendekati kenyataan.
Berlalu lalang mencari hal yang tidak biasanya.
Tidak ada kenikmatan yang abadi, karena akan selalu ada yang melebihi.
Kesyukuran yang membuat berhenti lalu sejenak melanjutkan kembali.

Setelah ini, pikiran melayang menembus jiwa yang guncang.
Tertarik akan diri yang tidak lagi mengerti.
Ketulusan tinggal buaian usang.
Kesabaran hanya pelengkap candaan.

Kembali, penyanggupan hanya soal teori.
Jawabannya sekedar lawakan tiada henti.
Yang terjadi malah berbalik mengikuti
Sampai hati berkata tak sesuai sebelumnya janji.

Waktu, menagih tanpa melihat kondisi.
Memampukan hal yang belum cukup terisi.
Pembalasan karena tak sesuai petisi
Memaksa lalu pergi tanpa solusi.

Salahkah saja, atau benarkan
Tidak ada diantaranya.
Membisu saat ditanya matanya.
Mengungkap ketika emosi katanya.
Hatinya tak sesuai pikirannya

Tinggal, sendiri bagai tak memiliki.
Menyendiri dalam lamunan memikirkan diri.
Syukur yang membuat berhenti.
Tuhan tidak pernah merasa meninggali.

5/20/2016

Kegamangan

Mungkin dalam penyatuan waktu ada hal yang tidak bisa disatukan.  Semakin membuka diri tapi hati tertutup.
Apakah kebenaran itu tentang kuantitas?
Yang lebih banyak setuju menunjukan kebenaran.

Habiskan pikiran tentang kenikmatan bersyukur.
Pulihkan dari khilaf yang tidak pernah puas.
Rasanya terkaan itu tidak pernah sampai.
Untuk menggenggam saja tidak mampu.

Salahkan jika memang salah, tapi diri seperti tidak menerima apaapa. Diam bagai tak pantas.
Lirih menepi menunggu waktu menghampiri.

Diri ingin jadi dirinya, semakin menjadi semakin terusik perihnya. Menahan seakan semua tinggalah mimpi. Sampai diri ingin dibimbing, memiliki tapi bukan saatnya termiliki.

Diri ingin salah, dihempas bagai terkoyak pikirannya.
Dibuang bagai penganggapan yang tak berguna.
Biarkan diri mengoreksi ditambah pengoreksian.
Diri tidak ingin  sendiri. Itu saja.

Terbiasa Bermimpi

Pengertian tentang kekuatan, merekapun mengerti. Tapi apakah diri mengerti, sejauh ini bertahan lalu menguatkan. Sampaikanlah pada keindahan karena tidak ada lawan darinya. Indah pada waktunya.

Berpikir membuat kita memahami. Rasanya tak sanggup mereka mengartikan pikiranmu apalagi memahamimu. Berdamailah dengan hati, dengan dirimu sendiri. Bagaimanapun caranya, tidak bisa dirubah sesuatu yang telah berketetapan.

Bagaimana org lain tahu kamu kuat? Karena dengan itu bertahan sampai kalau terfikir mereka tidak akan mampu. Penguatan itu refleks terjadi pada setiap ujian. Semakin diuji semakin pula kekuataannya. Tapi apakah dengan penyadarannya juga?

Diri ingin disadarkan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi. Kenyataan menghantui satu persatu terlewati. Berlari mengejar anggap saja dilewati.

Diri akan terbiasa bermimpi.
Rangkaian cerita yg hanya terjadi ketika tidur.
Bukan tentang apa mimpinya.
Tapi bagaimana kita menikmati hingga tersadar dalam rangkaian itu.
Tentang kenikmatan.
Tentang kesyukuran diberikan waktu ada dalam rangkaian.
Rangkaian itu menyatu hingga kuat.
Dan sekuat itu kita berharap pada kekuatan
Sehingga yang terjadi bukan lagi ingin tidur.
Melanjutkan mimpi mimpi dan tersadar kita dalam kenyataan.
Nikmatilah mimpimu dan bangunlah dari tidurmu.
@jamlangwatilove

5/08/2016

Pilihan

Riuh menutup kebisingan sampai tak terhiraukan.
Pilihanmu hanya konsentrasi pada pikiran.
Penuh sesak berdorongan sampai bertabrakan.
Lihatlah mereka begitu teramat segan.

Ada aku disana, menatapmu jauh begitu dekat.
Tak ada orang satupun yang terlihat.
Begitu mudah mengenapkan langkah.
Berjalan seakan kau menatap searah.

Kita saling berdiskusi.
Menari dalam kenyamanan yang ganjil.
Memadukan setiap lebih dan hal kecil.
Membangun atap dan dinding kuil.

Hingga,
Mereka mendesak, menjatuhkan sampai terluka.
Membelah atap dan dinding sampai terbuka.
Menarik satu dengan lain sampai terpisah.
Melebarkan jalan dengan waktu sampai menyerah.

Aku pun tersungkur.
Rasanya mendekat adalah bukan pilihan.
Tak sanggup lagi aku lanjutkan.
Walau pikiran tak sesuai perasaan.
Walau hati tak sejalan.

Kamu pun terjatuh.
Belum bangun karena tidak ingin melihat keadaan.
Masih saja kau bergumam dalam pilihan.
Katamu tak sesuai keinginan.
Kadang hanya terdiam dalam keheningan.

Dalam keramaian, bertemu
Dalam sepi, rindu
Dalam diri, menyatu.
Namun, dalam hati ragu.

5/06/2016

Surau Sekarang~

Panas terik begitu menarik perhatian
Ragu menoleh kearahnya.
Perih terasa menggores pandangan.
Melaju sambil merunduk kepalanya.
Mengganggu sedikit perjalanan.
Bias pancaran silaunya.
Diam diam merusak pikiran.

Rindu dia bilang.
Hujan tak kunjung datang.
Risau mata memandang.
Menunggu sipetualang.
Apakah dia lupa jalan pulang?
Ataukah ada diantara penghalang.

Suraumu sepi tak bertuan.
Meraung tak ada yang mendengar jeritan.
Bisiknya lemah menusuk pikiran.
Lirih dianggap hanya tempat keluhan.
Terdengar kata ingin bersamamu dan kawan.
Mengkaji dan menyetor hafalan.
Namun kita hanya terus berjalan.

Musim memang benar berganti.
Rasanya rindu itu hanya candu.
Mengajak sekedar tanpa ayuhan bukti.
Lalu hilang bagai angin menghapus debu.
Risih mengucek mata debu bertepi.
Tapi terus melaju hingga tabu.

Apa kau tidak butuh hujan?
Bukan dengan itu kau akan berteduh?
Merdu syahdu suara setiap pekan.
Mengharap hujan menghapus rindu.
Apa kau tidak takut hujan?
Petir menyambar, angin bertiup gaduh.
Namun kau tenang dalam pelajaran.
Membaca Alquran dan terus mengadu

Saya rindu, surau pun begitu.
Musim ini akan berlalu.
Sampai hujan juga rindu padaku.
Itulah kehidupan, sekarang tak seperti dulu.
Dan bagaimana mensyukuri itu

Hujan turun, lembut menyapa sesuatu yang usang.
Aku berlari menerjang angin permulaan.
Kamu memakai bekal mengeluarkan payung.
Petualang sudah terbiasa melawan .
Dan diantara kita tidak lagi mencari
Suraupun sendiri menyediri.
Dirinya tak lagi menjadi tempat terakhir yang dicari.

(Masih) Puisimu

Terukir tak begitu rapi.
Terpikir menolak bertepi.

Kalau saja, mimpi bersyarat tapi.
Bayangmu tak segan mengikuti.

Kau pun harus mengerti
Modernisasi mengubah ilusi.
Kata pasti berubah puisi.
Kata nyata berubah misteri.

Aku ingin hilang.
Merasuk pada jiwa yg tenang.
Menemukanmu terhempas terjang.
Merintih seakan tidak ada orang.

Keras, bagai suara meriam.
Dingin, bagai es menyerupai batu.
Kamupun hanya diam.
Tak sadar diantaranya ada sesuatu.

Aku disini, menunggu diri
Menemukanmu bukan dalam mimpi.
Tapi apa yang kau cari.
Bukan lagi aku, namun sepi.

Hanya butuh waktu membatu.
Mencair, pecah tak berbentuk.
Nyatanya kau tidak pernah menyatu.
Berair diri sendiri mengutuk.

Menemukanmu, aku hendak ingin.
Menggapai namun tak sampai.
Kakiku terasa lebih dingin.
Diammu enggan memulai.

5/04/2016

Puisimu

Kenapa tidak pernah bertanya?
Sekarang, nanti, bahkan selamanya
Apa alasan diri bertahan
Menunggu sampai merasa bosan.

Katamu mampu mengubah pelukan.
Pikirmu mampu mengganti keluhan.

Biar, diri saja yang menanggung.
Pundakku mampu menjanjikan.
Pudar, setelah hilang diri merenung.
Rasaku mampu mengembalikan.

Ada, akan tetap diatara keberadaan.
Sulit tak mesti diberitakan.
Beda, akan tetap diantara perbedaan.
Rumit tak mesti diceritakan.

Kita saja, atau Tuhan saja?
Atau salah satu diantaranya.
Bertahan, atau menunggu itu sama saja.
Atau nanti sampai selamanya.

Diri tidak mampu mengatakan percaya.
Diri tidak mampu menyatakan sebenarnya.
Tuhan belum berkesempatan menyatukan keduanya.
Dan dengan itu tak ada lagi tanya.

5/03/2016

When did you changed?

Diri berada dipelataran rumah.
Hal beda yang tidak pernah.
Bergumam lembut sambil mengangkat wajah
Demam hingga keringat basah.

Tidak kah kau merasa ini hina.
Pembalasan tak setimpal pena.
Sajak mu kini hanya fana.
Pikiran pun sudah sulit cerna.

Teringat, akan mimpi lalu
Terucap, bergegas berlalu.
Tersimpan, menahan tak mampu
Terjatuh, dalam mesin waktu.

Kini, tersadar sudah mati.
Dingin mulai perih menyelimuti.
Terasa begitu memanah hati
Janji bagai menagih bukti.

Kapan? Diri lemah terputus diantara asa.
Menanggung harus yang tak kuasa.
Bukan? Diri pernah berusaha bisa.
Terkepung terus tak terasa.


Jangankan dunia, diri saja belum menyanggupi.
Hati saja terasa tertutupi.
Semua kini hanya mimpi.
Tergeletak bersama sepi