8/19/2015

Pertanyaan~

Akan ada ketika waktu memberikan jawaban atas pertanyaan yang selalu diri keluhkan, bahkan ketika waktu membalikkan pertanyaan atas balasan yang selalu diri abaikan. Sampai dimana diri mengerti bagaimana cara menikmati sesungguhnya, bagaimana cara mensyukuri sepenuhnya atas yang terjadi saat ini bahkan nanti.
Akankah diri ini selalu mempertanyakan tanpa memberi jawaban atas kelakuan masa sekarang. Seakan hidup hanya milik keadaan tanpa proses para objeknya. Seakan hidup hanya milik orang lain sebanyak penilaian yang diberikan pada diri. Seakan hidup hanya milik waktu yang digunakan hanya untuk menunggu.
Pada awalnya, diri hanya ingin menggunakan tanpa kesiasian tapi tidak membuka seluasnya pikiran tentang sikap saat ini. Hanya bebas tapi terbatas, hanya merdeka tapi terluka. Lalu, sekian banyak kesempatan mengiyakan itu bagaikan angin yang menghembus saja, tetap diri bukan bagian penentuan takdir yang diberikan. Sehingga sebesar apapun menguatkan ketika diri tidak dimampukan, apalah arti kebesaran diri.
Inilah waktu yang tepat, memberikan peluang berlaku kebaikan lebih baik dari pada kesempatan berlaku memperbaiki. Karena ketepatan waktu hanya pada saatnya ini, bukan untuk diabaikan namun dinikmati.
Diri menasehati bukan karena merasa benar, menikmati bukan karena merasa salah. Hanya saja, nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan. Ketika nikmat itu benar terasa sesungguhnya dalam kesiapan diri merasakannya. Ketika hikmah itu benar terjadi sepenuhnya dalam kesiapan diri atas kejadiannya.
Mampukah pengembalian pertanyaan itu merubah sebanyak keluhan yang merusak banyak harapan. Sehingga sebesar apapun diri ini berharap hanya akan hilang dijawab waktu. Segankah waktu diburu untuk menerima banyaknya pertanyaan yang belum sempurna dikehendakinya.
Sampai saat ini, dalam pengabaian waktu tentang terasingnya diri membuat semakin nyata. Ada kenikmatan dalam kesendirian, dalam kekosongan, dalam kerinduan karena ketika tidak lagi merasakannya diri malah mempertanyakannya kembali.
Berhentilah mempertanyakan ketika kesiapan pembalasan jawaban tidak pernah terlintas dalam fikiran, karena hanya menikmati cara menanggapi sesungguhnya keluhan itu.



8/18/2015

Saya merasakan

Ini jawaban bagi yang pernah bertanya tentang alasan yang sebenarnya mereka ketahui. Namun malah membalikan diri seakan dingin selalu menyelimuti hati yang sebenarnya dalam kehangatan, seakan batu selalu mengeraskan hati yang sebenarnya dalam kelembutan, seakan acuh selalu memaksa hati yang sebenarnya dalam kepedulian.
Diri merasa seakan merasakan lebih dalam tentang arti bagaimana orang lain mengartikan dalam kebaikan yang sebenarnya salah diartikan. Diri merasa seperti menjalani lebih dulu tentang makna bagaimana orang lain mengubah kebaikan yang sebenarnyasudah berubah.
Bukan ini maksutnya, bukan seperti ini pula maknanya. Hanya saja diri itu tertutup pada besarnya rasa karma yang harus diterima. Mengertilah akan ada yang tersakiti jika hati itu berhati hati, menjadikan sejati menjadi bukti yang tidak lagi berarti. Akan ada yang terkhianati jika perasaan itu berubah seperti berjalannya waktu dalam komunikasi yang menentu. Akan ada yang terbunuh seperti diri itu terbawa luluh yang tidak memiliki tujuan seperti diri itu menjanjikan penuh.
Biarkan sendiri itu membantu diri ini merasakan bagaimananya indahnya berdua, memberikan hikmah yang dapat mengubah rumah sebagai satu satunya tempat kembali. Biarkan diri selalu dalam kata sendiri yang tidak dalam keperluan apapun diri itu bersimpati dalam arti yang berbeda walaupun dalam perasaan yang berbeda dan penilaiannya pun berbeda. Karena hati yang sepenuhnya mengerti justru berusaha melebarkan sayapnya untuk lebih mengeratkan kesetiannya yang perlu ditunjukan.
Tidak perlu iba dalam keadaan yang telah ada sebelum atau sesudahnya kisah. Rencana Tuhan tak sepantasnya dikeluhkan pada objek yang hanya menilai subjektif kisah itu. Tidak perlu menayakan diri ini baik dalam keadaan yang telah ada sebelum atau sesudahnya kamu. Kesempatan Tuhan tak selayaknya dipertanyakan pada diri yang sejatinya sudah melewati dalam lindungan Tuhan.
Percayalah, tidak ada yang mau diperlakukan tidak baik walaupun dirinya belum tentu baik. Karenanya bersikaplah seperti apa kamu ingin diperlakukan. Karena diri hanya biasa dalam kebiasaan. Karena bagi orang tidak ada yang mau susah padahal diri yang sebenarnya menyusahkan.

Percayalah, diri hanya ingin dihargai tanpa sebagai apapun selain manusia yang mengerti bagaimana ia akan diperlakukan orang lain. Dan apapun penilaiannya tetap Tuhan  yang lebih Kuasa menentukan jalan hidup yang mampu diberikan makhlukNya.

Hakikat Diri

Apa hakikat diri? Akan kah diri bagian dari sendiri. Ketika dibiarkan semakin mengusik membisikan hati ada raga yang setengah pergi. Ketika dirasakan semakin mengecewakan hati ada jiwa yang setengah sempurna. Ketika diikuti semakin menusuk hati ada rasa yang setengah berlalu.
Kenapa bergantung pada mereka semakin mempermainkan emosi yang tak mungkin lagi tertahan. Kenapa bergantung padaNya justru perlu melekat ketika dekat. Bagaimana ketika jauh, akankah mereka yang berusaha mengerti hanya sekadar ingin mengikuti tanpa hati. Akan kah Dia memerlukan perlekatan juga ketika jauh walau menyapanya pun ragu dalam setiap kewajiban.
Dari dulu, kesadaran mungkin baru mengerti seakan tak ada dulu ketika sekarang. Menikmati sekarang tanpa merencanakan perubahan pada hari berikutnya adalah omong kosong belaka. Menikmati bukan tidak boleh, karena yang berlarut itu tidak baik.
Ketika dibawah rasanya melihat keatas merasa diri selalu kurang dalam kesombongan, hanya membawa diri dalam keadaan yang selalu disendirikan. Ketika diatas melihat kebawahpun tak mampu hanya sekedar menoleh pun tidak, hanya berakhir pada pengabaian yang diiringi benci seakan pernah melewati.
Bagaimana cara melawan keadaan yang tak seperti selayaknya sehingga penerimaan itu jatuh pada keikhlasan hati. Bagaimana cara menghargai keberadaan diri yang belum sempat dihargai dalam kesempatan yang lain. Inilah hidup, dan hidup inilah yang tidak pernah terfikir dalam rencananya manusia namun terpikir dalam RencanaNya yang Maha Kuasa.

8/17/2015

Serba Salah

Sejatinya kebenaran hanya milikNya, Sejatinya kesempurnaan hanya milikNya. Sekalipun usaha mengiringi setiap proses yang tidak mudah, sekalinya tak ada kehendak maka tak sampailah pada kebaikan yang diinginkan melainkan kebaikan yang dibutuhkan.
Apakah dengan berbagi menjadian hati menjadi dengki? Bukankah berbagi adalah hal menyenangkan bagi yang merasakan. Bukannkah dengan berbagi menjadi diri merasa bersyukur atas kelimpahan. Tapi, kenapa dalam kesempatan ini berbagi menjadikan diri semakin bersalah. Kenapa berbagi semakin menusuk lebih dalam tentang arti diri.
Perasaan tidak pernah membohongi diri yang lemah menyadari keadaan. Mungkin serba salah hanya dalam pengambilan kesimpulannya saja. Ketika resiko terburuk diambil dalam masalah yang berbeda. Meski setiap apapun memiliki kebaikan walau setitik.
Hanya diri ini saja yang merasa, semakin melebarkan pelukan justru mengurangi keeratan sebelumnya, karena meyakini ketidakmungkinan diri tidak membutuhkan orang lain. Tersadar ketika mereka menanyakan seakan kebaikan yang dilewati dengan pelukan yang erat mulai merenggang dengan adanya tambahan kuantitas didalam pelukan itu. Kenapa harus bertanya? Seakan setiap hal perlu dipublikasikan disetiap momennya persahabatan. Seakan apapun itu dinamakan persahabatan yang baik jika pengetahuannya lebih detail dipahami.
Apakah berbuat baik pada siapapun itu perlu pamrih yang selalu ditagih. Walaupun penyindiran itu samar terdengar, namun menyadarkan.  Apakah berbuat baik pada apapun itu perlu bayaran dalam penawaran. Walaupun ungkapan itu mulai ada namun tak berada.
Bukankah persahabatan selalu menghargai pertemanan, dengan apapun dan siapapun nanti, biar waktu yang menyeleksi. Pemantasan itu hanya pada diri selayaknya menjadi yang terbaik dalam ceritanya kita bukan aku atau kamu. Kita memang buruk mengenal sebatas kisah yang kita alami terasa sama seakan solusi terbaik pada pengalaman terbaik, namun melupakan hal yang sebenarnya malah membalikan sikap yang seharusnya dijauhi.
Kita ini apa? Sejak kapan keformalan teman atau sahabat itu ada? Sejak kamu mengatakan hal yang begitu menggucang perasaan. Seakan aku berfikir dua kali untuk penganggapan. Kamu itu bukan hanya kamu, kamu berarti majemuk, berarti luas.
Tidak ada yang salah dalam kesempatan ini. Bukankah resiko terbesarnya hanya kita yang mengambilnya dengan bagian terburuknya. Saya yang tidak merasa pantas dijadikan yang terbaik sebagai teman apalagi sahabat. Namun kalian sendiri yang membuka diri bahwa bukan untuk saat ini kita merasa dalam keeratan yang sesungguhnya, mungkin lain kesempatan.
Diri berharap seakan masih diberi kesempatan untuk lebih mengenal arti bagian resiko terburuk itu sehingga waktu mampu mengubah keadaan mempercayakan kamu untuk lebih dalam memasuki hidup dalam kebersamaan walau tak harus bersama. Terima kasih atas penganggapan yang tak pernah terduga sebelumnya, namun pemantasan itu tak baik atas pembalasan yang diberikan pada diri.
Wallohualam bissoaf, ada bukan berarti berada. Kebersamaan bukan berarti bersama. Keistimewaan bukan berarti istimewa. Dan kesempurnaan bukan berarti sempurna. Bagaimana kita memandang dan bagaimana pemantulan pemandangan itu menampilkannya. Berfikirlah dalam perbedaan, seakan kita menjadi mereka begitupun sebaliknya. Namun kesalahan bukan bagian terbesar saat ini. Hanya kesempatan yang tak baik bukan berarti buruk. Dan yang merasa hanya diri bahwa serba salah hanya pada penyalahan diri yang sejatinya selalu berkesempatan berbuat kesalahan.