3/08/2015

Menulis

Menulis sebenarnya adalah memaksa mengingat, sehingga diri terpaksa teringat. Kemana ketenangan? Malah terlena dalam kenangan. Semakin hari semakin menyadari ada tulisan yang menari disepanjang hari. Semakin jauh semakin mengeluh ada tulisan yang membuat luluh untuk terus berharap penuh. Lagi lagi tentang harap, karena berbuat baik tak juga menghasilkan yang terbaik dan berbuat buruk sudah pasti menghasilkan yang terburuk. Menulisku seperti terpaku, menancap dan sulit dilepas. Bagai kata yang tak pernah diucap namun harap tak pernah terhempas. Rasanya ingin berhenti, malah semakin jadi mencari arti sejak tadi. Inginku pergi bahkan tak segan untuk mengakhiri, karena alasan meyendiri bukan ingin lari.
Bangun, malah tertegun ada alasan yang membuat melamun. Sedih memang, pedih memang. Ada harap yang melayang, ada sikap yang ingin berjuang. Biar, pikiran ini mencari yang benar. Walau tanpa sadar telah merindukan orang yang tak benar. Meski rindu itu akan pergi atau malah datang lagi. Sempat heran, kenapa kuat bertahan pada kerinduan atau memang tak ada sedikitpun perasaan. Menolak, ada rindu yang begitu menggebu, bersorak sendu seperti babu. Seakan tak guna menulis dengan pena, karena hatimu tak juga kena.
Diluar hujan tapi tak deras, biarkan. Apa ini balasan dari keadaan yang tak perlu diumpamakan. Semakin tidak dinyatakan semakin tidak terlupakan bahwa ada perasaan yang belum tersamakan. Tinggal memilih, meneduh untuk menunggu reda atau berlanjut melawan deras. Tapi hati tetap hati dan akan berhati hati. Bukan untuk menuduh tapi jelas ada batas. Ada yang tak pantas ditunggu dan tidak ada yang jelas untuk alasan dibuat menunggu.

Secara langsung menghadirkan diri dengan bingung, tapi suara itu hanya terasa mendengung. Tidak pasti hanya membuat aku mengerti, ada yang selesai ketika terus memulai. Ada yang menyerah ketika pasrah. Lalu untuk apa menulis? Jika hati tetap saja menangis, jika diri tetap saja teriris, jika logika tetap saja terkikis. Tapi dengan menulis, ada resah yang tercurah mungkin sampai nanti sampai rasa ini benar benar mati.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                   

No comments:

Post a Comment