Menulis sebenarnya adalah memaksa
mengingat, sehingga diri terpaksa teringat. Kemana ketenangan? Malah terlena
dalam kenangan. Semakin hari semakin menyadari ada tulisan yang menari
disepanjang hari. Semakin jauh semakin mengeluh ada tulisan yang membuat luluh
untuk terus berharap penuh. Lagi lagi tentang harap, karena berbuat baik tak
juga menghasilkan yang terbaik dan berbuat buruk sudah pasti menghasilkan yang
terburuk. Menulisku seperti terpaku, menancap dan sulit dilepas. Bagai kata
yang tak pernah diucap namun harap tak pernah terhempas. Rasanya ingin
berhenti, malah semakin jadi mencari arti sejak tadi. Inginku pergi bahkan tak
segan untuk mengakhiri, karena alasan meyendiri bukan ingin lari.
Bangun, malah tertegun ada alasan
yang membuat melamun. Sedih memang, pedih memang. Ada harap yang melayang, ada
sikap yang ingin berjuang. Biar, pikiran ini mencari yang benar. Walau tanpa
sadar telah merindukan orang yang tak benar. Meski rindu itu akan pergi atau
malah datang lagi. Sempat heran, kenapa kuat bertahan pada kerinduan atau
memang tak ada sedikitpun perasaan. Menolak, ada rindu yang begitu menggebu, bersorak
sendu seperti babu. Seakan tak guna menulis dengan pena, karena hatimu tak juga
kena.
Diluar hujan tapi tak deras, biarkan.
Apa ini balasan dari keadaan yang tak perlu diumpamakan. Semakin tidak
dinyatakan semakin tidak terlupakan bahwa ada perasaan yang belum tersamakan.
Tinggal memilih, meneduh untuk menunggu reda atau berlanjut melawan deras. Tapi
hati tetap hati dan akan berhati hati. Bukan untuk menuduh tapi jelas ada
batas. Ada yang tak pantas ditunggu dan tidak ada yang jelas untuk alasan
dibuat menunggu.
Secara langsung menghadirkan diri
dengan bingung, tapi suara itu hanya terasa mendengung. Tidak pasti hanya
membuat aku mengerti, ada yang selesai ketika terus memulai. Ada yang menyerah
ketika pasrah. Lalu untuk apa menulis? Jika hati tetap saja menangis, jika diri
tetap saja teriris, jika logika tetap saja terkikis. Tapi dengan menulis, ada
resah yang tercurah mungkin sampai nanti sampai rasa ini benar benar mati.
No comments:
Post a Comment