Selamat
pagi untuk yang sendiri, selamat malam untuk yang telah menghabiskan malam. Seharusnya
berbagi adalah saat yang membuat iri, namun yang dibagi hanya kalimat kelam
yang mengungkap jati diri. Tapi dengan ini mereka hanya menerka saling membuka
lebih terang tentang terluka. Ini hari minggu yang ditunggu namun selalu menganggu.
Tetap terlewat dengan cepat yang membuat terus mengingat. Pikirnya menunggu itu
asyik, malah mengusik. Ada yang perlu dijelaskan walau tak perlu diselaraskan.
Sudahhkah
berjalan? Bahkan saya sudah berlari dengan bertahan. Yang saya tau ketika itu,
saya kehilangan petunjuk jalan setelah menemukan. Karena ada, tapi tak senada.
Karena dekat, tapi tak terlihat. Karena butuh tapi tak menyentuh. Ini tentang
tempat yang katanya untuk, oleh dan harus bersama. Walaupun tak sempat dan tak
ada yang ingin lama. Ternyata penawaran yang tak sesuai sebelumnya, tidak tepat
sasaran pada harinya. Mau menyalahkan apa? Bahkan lupa mengapa untuk diingat
walau banyak yang memiliki firasat.
Sudah
siang, masih saja meriang. Apa? Merindukan kasih yang penyayang? Tak mengapa
jika pelukan masih membawa kamu pulang pada diri yang belum tentu memiliki
peluang. Masih saja berkutik pada petunjuk jalan yang selalu ditemukan ketika jauh,
sama seperti mereka tetap saja berkritik tanpa saran bahwa perlu pelukan ketika
butuh.
Mulai
sore, tetap saja hambar. Katanya petunjuk jalan itu benar, sampai saat ini
belum juga kasih itu terdengar. Hanya bertanya waktu yang saya punya, tapi jawaban
pasti pakai katanya. Tidak ada yang pasti tapi perlu diteliti. Banyak yang saya
ingin lihat ketika saling menemukan, atau malah saling teringat dengan
kesibukan.
Sebenarnya
kita ini apa? Petunjuk tak selalu benar. Ada opini yang selalu harus kita
yakini, dan ada omongan yang tak perlu kita jadikan wejangan. Kamu dan saya
belum tentu dipertemukan untuk saling menemukan. Tapi hanya ingin menguji kebenaran,
untuk sekedar memuji yang membuat kasmaran. Meski tak pernah lebih, tapi saya
ingin memilih. Ada perasaan yang terpilih, sampai gundah ini pulih.
Mungkin
rasa hanya sanggup merasa, bukan tidak mau mengikuti kata hati. Namun sudah
berasa ada bukti yang menjadi harga mati. Kamu tak berhak dinanti tapi hanya
layak diganti. Dengan apa? Dengan sikap yang mantap, bahwa dengan berharap diri
ini rusak. Dan tak ada pertanyaan lagi setelah kita menujuk kebenaran jalan,
karena disitu kita tak saling menemukan.
No comments:
Post a Comment